2017 - Podium.com

Sabtu, 23 Desember 2017

Untuk Siapa Legalisasi Zina

Desember 23, 2017 1
Untuk Siapa Legalisasi Zina


Permasalahan zina dan LGBT kembali menjadi perbincangan panas di tengah masyarakat, meski penyebaran wabah perzinahan dan LGBT telah lama ada. Hal ini meruncing ketika sekelompok perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5); Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP tentang kejahatan asusila.

Seperti yang dikutip dari Kompas.com, pemohon meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.. Pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki. Sementara untuk pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa “belum dewasa”, sehingga semua perbuatan seksual sesame jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual haruslah dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.

Namun yang terjadi justru di luar dugaan banyak pihak. Mahkamah Konstitusi menolak semua gugatan dengan alasan MK tidak berwenang untuk memperluas tafsir ketiga pasal dan membuat norma hukum baru. Meski MK mengemukakan alasan tersebut, namun hal ini justru disinyalir sebagai bentuk dukungan terhadap zina dan LGBT. Terlebih ketika sejumlah pihak juga mempertanyakan sikap MK ini. Pro dan kontra di masyarakatpun seolah menjadi bola panas yang terus bergulir hingga hari ini.

Dalam tulisan ini saya tidak terlalu jauh membahas amar putusan MK tersebut. Lagipula, saya kira memang sudah jelas bahwa hukum saat ini seolah tak mau ambil pusing khususnya untuk kasus zina. Dalam artian, perbuatan zina boleh-boleh saja sepanjang tidak menggangu hak dan kenyamanan orang lain. Zina yang dikenakan sanksi hanyalah dalam bentuk pemerkosaan, pedofilia, pencabulan dan sebagainya walaupun pada prinsipnya zina adalah semua hubungan badan yang dilakukan di luar ikatan pernikahan.

Pertama, yang ingin saya sampaikan bahwa dalam penciptaan manusia, kehadiran laki-laki dan perempuan adalah sebuah kepastian. Semua orang yang bernama manusia akan mendapati identitas dirinya sebagai salah satu dari jenis kelamin yang “sudah disediakan”. Di dalam fitrah manusiapun, laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang tak terbantahkan. Tak ada suku, agama, ataupun kepercayaan yang menolak fitrah ini. Bahkan suku terpencil sekalipun tetap melangsungkan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Sampai sini, bisa kita sepakati bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai pasangan dan tak dapat ditawar-tawar.

Kedua, sebelum menentukan hukum terhadap sesuatu hal, alangkah baiknya jika kita memahami dulu duduk permasalahannya. Secara umum, zina merupakan hubungan badan yang dilakukan laki-laki dengan perempuan di luar ikatan pernikahan. Meskipun sebenarnya, zina terbagi-bagi lagi seperti zina mata, zina pendengaran, zina suara dan sebagainya. Dalam pandangan Islam, zina adalah perbuatan yang amat keji. Pelakunya bahkan diancam hukuman rajam hingga mati.

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari perbuatan ini, seperti misalnya rentannya hubungan seks bebas akibat tidak ada ikatan pernikahan yang bisa berujung pada penularan penyakit HIV-Aids, lahirnya anak tanpa ayah, merusak garis keturunan, rasa bersalah yang menyebabkan aborsi, depresi hingga bunuh diri, dan berbagai macam dampak lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Satu hal yang pasti, bahwa larangan dalam Islam semata-mata untuk menjaga manusia itu sendiri.

LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender adalah suatu penyimpangan seksual di dalam diri seseorang, bahkan dikatakan sebagai gangguan kejiwaan. LGBT juga termasuk zina karena di Indonesia khususnya tidak memungkinkan untuk melakukan pernikahan sehingga mau tidak mau pasti ada “hubungan” itu di luar nikah. Sama seperti zina, dalam Islam, LGBT merupakan dosa besar.

Kecenderung menjadi LGBT bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti didikan keluarga, lingkungan pergaulan, tontonan sehari-hari, pengetahuan agama yang rendah, pengalaman hidup dan masih banyak lagi. Apakah LGBT dapat “disembuhkan”?. Untuk menjawabnya, kita bisa mendengar dari statement beberapa dokter, baik melalui televisi atau berita, yang mengatakan kalau pasien mereka banyak yang kembali ke jalan yang benar.

Dampak yang ditimbulkan dapat dirasakan secara langsung seperti kekacauan akibat ketidakterimaan masyarakat dengan budaya LGBT, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, risiko penyakit seks menular, dan ancaman kelestarian hidup umat manusia.

Ketiga, wajar sekali jika selama ini umat Islam sangat keras menolak zina dan LGBT. Penolakan ini tentulah bersumber dari Al-Quran yang merupakan petunjuk hidup paling benar untuk seluruh umat manusia. Dalil-dalil yang mengharamkannya sudah sangat jelas. Silakan pula baca kembali bagaimana kaum Nabi Luth yang menghalalkan LGBT itu diazab oleh Allah dengan dihancurkan dan ditenggelamkannya kota mereka hingga ke dasar laut. Dalil-dalil diantaranya:
·  
“(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka, “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan Fahisyah yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian? Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas,” (Q.S. Al-A’raf |7|: 80-81)

Sabda Rasulullah, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaki).

Jika umatku telah melakukan 5 perkara, maka tunggu kehancuran atas mereka. Satu sama lain antara mereka saling mengutuk, memakai sutra (bagi kaum laki-laki), menjadikan para penyanyi wanita (sebagai hiburan), meminum khamr, laki-laki mencukupkan (kebutuhan ideologisnya) dengan sesama laki-laki, dan wanita mencukupkan dengan sesama wanita.” (H.R. Al-Bayhaqi dalam Syu’ab al-iman).

“Lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki, perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan. Lelaki tidak boleh berkumpul dengan lelaki dalam satu kain(selimut). Perempuan juga tidak boleh berkumpul dengan perempuan lain dalam satu kain.” (H.R. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Tamidzi).


Keempat, berkitan dengan ideologis. Agak lucu memang ketika ada usulan untuk mempidanakan pelaku zina dan LGBT dianggap sebagai misi ideologis agama tertentu yang dalam hal ini adalah Islam. Justru yang terjadi sekarang ini adalah telah terjadi pertarungan dua ideologi antara ideologi yang mendukung dan ideologi yang menolak zina maupun LGBT.

Pembiaran dan dukungan terhadap zina dan LGBT yang terus merebak diakibatkan salah satunya karena tidak adanya aturan hukum, maka hal itu juga bisa dikatakan sebagai bentuk ideologi tertentu. Kabar terakhir yang saya dengar, bahwa ada salah satu agama yang “menghalalkan” perbuatan ini. Namun saya tidak berani memastikan apakah pernyataan itu benar dan saya berharap semoga semuanya salah. Kalau memang demikian, pertanyaannya, mengapa hanya Islam yang dituduh sebagai bentuk pemaksaan agama?

Dikatakan LGBT sebagai bentuk ideologis dengan argumen bahwa disadari atau tidak, telah terjadi penyebaran paham ini secara massif. Telah banyak terbentuk komunitas-komunitas semacam ini, baik secara langsung di masyarakat ataupun melalui media sosial. Belum lagi, keberadaan aktivis-aktivis gerakan ini juga telah mengemuka dan terus bergerilya. Mereka tak lagi malu atau takut ketika harus menampakkan wajahnya di layar televisi. Kalaupun tidak mau dikatakan sebagai ideologi, maka gerakan ini bisa dikatakan sebagai sebuah misi kelompok tertentu yang juga bertentangan dengan misi Islam.

Begitupun dengan perbuatan zina yang nampaknya telah menjadi barang murahan di masyarakat yang mayorias umat Islam ini. Tempat-tempat seperti lokalisasi, Tempat Hiburan Malam (THM), diskotik, penyedia tempat PSK bermodus tempat pijat dan sebagainya, sebagian tumbuh mengakar di Indonesia. Semuanya terjadi karena tidak ada larangan tegas yang ditegakkan. Tentu saja, bagi mereka yang tak memiliki keimanan dan pola fikir yang sama, tentulah akan sangat mendukung dengan perbuatan ini bahkan memperjuangkannya atas nama kebebasan dan hak asasi.

Keempat, sebagaimana lazimnya hukum yang dibuat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, maka diperlukan kepastian hukum dalam hal zina dan LGBT ini. Jika zina dan LGBT sebagai perbuatan melawan hukum, maka harus dibuat kejelasan hukumnya. Jikalau tidak dibuat aturah hukum, maka secara tidak langsung hal tersebut sebagai bentuk pelegalan. Konsekuensi dari pelegalan ini adalah terjadinya “bentrok” di masyarakat. Masalah inipun tidak bisa dianggap remeh karena sangat bertentangan dengan norma dan nilai di masyarakat di Indonesia.

Masyarakat yang masih memegang nilai dan norma yang kuat, ketika dihadapkan pada situasi terjadinya perbuatan menyimpang ini, maka hukum kebiasaanlah yang bertindak. Apa fungsi hukum jikalau hukum tak resmi yang pada akhirnya dipilih masyarakat. Dalam hal ini, hukum akan benar-benar kehilangan ruhnya.

Kelima, menyangkut masalah suara mayoritas dan minoritas. Adanya upaya untuk membuat aturan hukum terkait pelaku zina dan LGBT, yang kemudian disinyalir sebagai bentuk pemaksaan kehendak kelompok mayoritas, saya kira ini pemikiran terlalu kekanak-kanakan. Bukankah aturan idealnya dibuat untuk kepentingan orang banyak yang tidak selalu terkait jumlah pendukung atau penolaknya. Selama hukum itu adalah hukum yang sesuai koridor, maka harus dirumuskan dan dilaksanakan.

Lagipula, sangat aneh jikalau kita mempermasalahan mayoritas dan minoritas di negara yang menganut demokrasi ini. Bukankah demokrasi sendiri berpacu pada suara mayoritas? Pembuatan undang-undang, seleksi petinggi negara (Panglima TNI, Kapolri dan lain-lain) bukankah berdasarkan suara terbanyak? Bukankah pemilihan kepala daerah hingga kepala negara sekalipun juga bergantung pada suara mayoritas.

Demokrasi sendiri tidak mentoleransi meski terjadi perbedaan tipis antara jumlah suara yang mendukung dan tidak mendukung. Lantas mengapa kita harus mempermasalahkan mayoritas dan minoritas? Kalau kita mempermasalahkan hak-hak minoritas, harusnya sejak awal kita juga mempermasalahkan demokrasi yang kita anut.

Terakhir adalah negara yang ikut campur hingga ke dalam “kamar”. Hadirnya negara dalam setiap kehidupan semata-mata untuk melindungi dan memastikan rakyatnya bisa hidup dengan nyaman dan damai. Terlebih ketika suatu negara menyepakati bahwa mereka mempercayai keberadaan Tuhan, konsekuensinya adalah menjalankan aturan-aturan dari Tuhan, salah satunya aturan antara hubungan laki-laki dan perempuan.

Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dapat masuk ke ranah apapun selama dalam koridor yang ditentukan. Tidak ada istilah kekuasaan yang berlebihan dalam hal ini. Apalagi jika itu menyangkut permasalahan masyarakat dan harus segera diatasi. Pemerintah yang tidak mau mengurusi masalah “kamar-kamar” rakyatnya yang kemudian itu diterjemahkan dengan pembiaran (pelegalan) zina dan LGBT, maka pemerintah harus siap menerima kekacauan di masyarakat.

Bagi mereka yang tidak setuju pemerintah mengatur urusan “kamar” rakyatnya, maka fikirkanlah hal ini; Jika pemerintah tak boleh masuk ke dalam “Kamar” tiap rakyatnya, maka jangan salahkan pemerintah jika tak memasuki “Dapur” rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawab.

Banjarmasin, Desember 2017
Ditulis dalam kegetiran akan nasib bangsa

sumber gambar : nu.or.id

Senin, 18 Desember 2017

Menikmati Sensasi Kerupuk Nasi

Desember 18, 2017 0
Menikmati Sensasi Kerupuk Nasi

Kerupuk merupakan salah satu jenis makanan yang begitu dekat dan amat disukai kebanyakan masyarakat Indonesia. Teksturnya yang renyah dan rasanya yang gurih, membuat siapapun tak pernah bosan memakannya. Belum lagi, harga sebungkus kerupuk yang bisa dibilang sangat murah meriah. Tak heran, kerupuk mudah sekali ditemui mulai dari di warung-warung kecil hingga restoran sekalipun.

Salah satu kerupuk yang kali juga khas dari daerah Marabahan, Barito Kuala, Kalimantan Selatan adalah Kerupuk Nasi. Sesuai dengan namanya, kerupuk ini berbahan dasar nasi yang diproses menjadi kerupuk. Bentuknya bulat dengan garis merah di sekelilingnya. Soal rasa, tak perlu ditanya. Kerupuk Nasi tak kalah nikmat dengan kerupuk-kerupuk lainnya. Ketika dimakan, renyah dan gurih bersatu padu di dalam mulut.

Kerupuk Nasi Cap Jembatan Rumpiang merupakan produk yang direkomendasikan untuk anda. Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp7.000 saja, Anda sudah bisa membawa pulang satu bungkus Kerupuk Nasi dengan berat 250 gram. Cara memasaknya pun sangat gampang. Tinggal panaskan minyak goreng, kemudian setelah panas masukkan satu per satu kerupuk ke dalam wajan. Ketika sudah mengembang, angkat kerupuk dan tirisikan.

Produk  ini dapat ditemui jika Anda pergi ke pasar-pasar yang ada di Marabahan khususnya. Tapi tenang. Bagi Anda yang berada jauh dari tempat penjualan, kini pemesanan dapat dilakukan secara online. Silakan hubungi no WA 085820661638 untuk pemesanan ataupun jika ada pertanyaan seputar produk. Jika sudah ada kesepakatan, maka produk akan segera kami kirim.

Selamat menikmati kerenyahan dan kegurihan Kerupuk Nasi Cap Jembatan Rumpiang.

Kamis, 07 Desember 2017

Setelah Reuni 212, Akankah Ada Reuni Kebangkitan Islam?

Desember 07, 2017 0
Setelah Reuni 212, Akankah Ada Reuni Kebangkitan Islam?
Tanggal 2 Bulan Desember 2017, tampaknya masih menjadi tanggal sakti, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Tanggal ini sekaligus menjadi tanggal yang amat dibenci oleh para pemuja sekulerisme, kapitalisme, liberalisme bahkan komunisme. Bagaimana tidak, ribuan bahkan ratusan ribu umat muslim kembali tumpah ruah di jalan-jalan Ibu Kota. Bila dilihat dari ketinggian, maka sejauh mata memandang adalah jalanan yang berwarna putih dengan kibaran bendera Laailaha illallah Muhammadar Rasulullah. Semua bersatu dalam ikatan dan gema takbir tiada henti.

Acara dengan tajuk Reuni Akbar 212 kali ini dibarengi dengan kegiatan lain seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, solat subuh berjamaah, zikir dan doa bersama, sholawatan hingga orasi-orasi dari para ulama hingga tokoh masyarakat. Meski terbentuknya gerakan 212 ini berawal dari tuntutan umat Islam kepada tersangka kasus penistaan agama, akan tetapi saya melihat tujuan aksi kali ini lebih pada menjalin ukhuwah Islamiyah yang lebih kuat.

Saya pribadi merinding ketika menyaksikan lautan manusia tersebut dari layar televisi. Kekuataan ummat yang selama ini tersimpan rapi, hari ini perlahan mulai bangkit dan memperlihatkan Islam Rahmatan Lil Alamin yang sesungguhnya. Tak ada aksi pembakaran ban, penyanderaan, pengrusakan fasilitas umum, apalagi pengeboman. Kesadaran untuk membela dan memperjuangkan agama Allah, telah hadir kembali di hati dan fikiran kaum muslim.
           
Satu hal yang juga amat berkesan bagi saya hingga hari ini adalah gerakan solat subuh berjamaah. Gerakan ini telah digelorakan jauh-jauh hari oleh para ulama, aktivis dan tokoh masyarakat. Solat subuh berjamaah di silang monas pada aksi reuni 212, mungkin bisa dikatakan sebagai solat subuh terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa solat subuh begitu banyak mendatangkan pahala, berkah dan manfaat.

Saya jadi teringat dengan sebuah tulisan yang menceritakan tentang pemimpin Yahudi yang pernah berkata bahwa mereka (Yahudi), tidak akan pernah takut kepada umat Islam terkecuali jika jumlah umat Islam yang melaksanakan solat subuh berjamaah sama dengan  ketika melaksanakan solat Jumat.

Di lain tulisan saya juga pernah membaca kisah seorang mujahid berumur 17 tahun asal Palestina yang terkenal, bernama Muhammad Fathi Farahat. Sebelum ia menghembuskan nafas sebagai pejuang agama Allah, ia pernah berwasiat kepada kita, kurang lebih seperti ini; solat subuh berjamaah adalah rahim yang akan melahirkan pejuang dan pahlawan. Melaksanakan solat subuh berjamaah adalah karakter seorang mujahid, tanda kemenangan dan sifat orang soleh.

Solat subuh memang merupakan solat yang paling berat karena untuk melaksanakannya manusia harus melawan rasa kantuk yang amat berat. Karena itu, diperlukan pengorbanan dan segenap kesungguhan dalam melaksanakannya. Semakin banyak orang yang mau melaksanakan solat subuh berjamaah, itu menunjukkan bahwa umat Islam semakin kuat dan bermental baja.

Persatuan atas dasar ikatan keimanan semacam ini memang sudah sangat dirindukan sejak dahulu. Alasannya, karena selama ini ada kesan bahwa umat Islam masih terkotak-kotak oleh golongan, aliran, pergerakan ataupun hal lainnya. Antar organisasi Islam masih sering terjadi gesekan hanya karena berbeda metode dan pembawaan dalam berdakwah.  Belum lagi ketika umat Islam harus terjebak dalam perkara bid’ah yang berujung saling membid’ahkan saudara sendiri, sehingga lupa menyadarkan orang-orang yang masih awam terhadap agamanya.

Reuni 212 inilah yang menjadi angin segar bagi kita semua. Anggapan bahwa umat Islam tak bisa bersatu, terbantah sudah. Kekhwatiran terhadap umat Islam yang tak peduli dengan agamanya dan hanya menjadi mayoritas tanpa ada kekuataan, perlahan bisa ditepis. Ratusan ribu orang dengan latar belakang, aliran, mazhab dan organisasi yang berbeda-meski tak semua pula hadir, dapat tersatukan dan siap memperjuangkan demi tegaknya Islam. Aksi ini tentu tak bisa dianggap enteng. Ketika umat Islam bersatu, maka tak ada yang mustahil terjadi.

Kebangkitan yang dimaksud disini tentulah tidak hanya sebatas bersatunya umat dalam sebuah parhelatan akbar, akan tetapi kepada terbentuknya corong-corong kebangkitan itu sendiri. Dalam aksi ini dapat disaksikan banyak orang yang bersedekah semisal membagikan makanan gratis ataupun hal lainnya yang mereka bisa, kepada para peserta aksi. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat berbagi yang tinggi. Dalam bidang ekonomi, kini terbentuk 212 Mart yang cukup terkenal dan sekarang sedang berproses. Tentu usaha ini dibangun dengan dijiwai oleh aksi 212 dan landasan syariah Islam. Diharapkan usaha ini akan menjadi cikal bakal bangkitnya ekonomi ummat.

Orasi-orasi yang disampaikan para tokoh, dapat menjadi panggung pendidikan Islam dan penyadaran yang paling massif dan besar. Pendidikan politik juga dapat terbangun dengan kegiatan ini dan tentu saja dengan tujuan menumbuhkan semangat berpolitik Islam, yakni politik yang ditujukan untuk kemaslahatan ummat sebagaimana yang telah digariskan dalam Islam.

Berbicara reuni 212 tentuk tak afdol jika tidak membicarakan serba-serbi penolakan kegiatan ini. Aksi reuni 212 tentu tak akan lepas dari “pemberontakan” kaum kontra. Sebelumnya, dari sebuah grup WA, saya mendapatkan kabar bahwa ada sebuah perguruan tinggi yang melarang mahasiswanya untuk mengikuti reuni 212 dengan berbagai macam sanksi yang telah menghadang. Saya tak tahu pasti apakah kabar itu benar atau salah. Tapi yang pasti, jika benar demikian, hal ini patut dipertanyakan. Atas dasar apa sehingga pihak kampus membuat aturan semacam itu. Apakah mereka menganggap aksi tersebut sebagai aksi yang berbahaya atau bernuansa politik.

Memang, ada banyak kalangan yang kemudian menafsirkan aksi ini sebagai kegiatan yang mengandung unsur politis yang kuat. Hal ini didasari atas tumbangnya penista agama yang semula menjadi objek penuntutan, lantas untuk apa lagi ada aksi semacam itu?. Belum lagi, tahun politik yang sebentar lagi akan datang.

Kalau boleh saya katakan, pernyataan tersebut memang benar sekali, bahkan sangat tepat. Reuni 212 memang harusnya tak sekadar kumpulan orang saja, melainkan harus mampu menjadi kekuatan politik Islam yang sesungguhnya, sebagaimana yang saya singgung sebelumnya. Dalam Islam, politik bukanlah sesuatu yang kotor. Akan tetapi merupakan suatu hal yang amat penting dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dengan menguasai politik, bukan tidak mungkin kebangkitan Islam yang telah menjadi janji Allah akan semakin cepat kita sambut. Wallahu a’lam bisshawab.

sumber gambar: tribunnews.com