Entah kenapa hari itu saya mau
meluangkan waktu untuk menonton televisi. Biasanya, saya lebih suka berhadapan
dengan layar handphone ataupun laptop tiap harinya. Semenjak menjadi mahasiswa,
menonton televisi seolah menjadi barang langka bagi saya. Kesibukan kuliah dan
organisasi benar-benar membuat saya harus merencakan total semua hal yang harus
dikerjakan dan tentunya memangkas habis hal-hal yang kurang produktif semisal
menonton televisi yang memang cenderung menghabiskan banyak waktu.
Di salah satu tayangan pada televisi
mainstream tersebut, ada sebuah tema
acara yang menarik perhatian saya. “Mengembalikan Toleransi Beragama di Ibu
Kota”, begitulah tema yang tertera disana. Saya kemudian mencoba untuk flashback sebentar. Mencoba mengingat
kejadian-kejadian apa yang telah terjadi dan berhubungan dengan tema tersebut.
Namun semakin saya memikirkannya, hanya kebingungan yang mengendap di benak
saya. Ibu Kota rasanya aman-aman saja belakangan ini. Tidak ada aksi pembakaran
ataupun pengeboman gereja, pengeroyokan etnis Tionghoa apalagi pengusiran umat
Hindu dan Budha. Lantas apa dan siapa yang dimaksud tayanga televisi tersebut.
Saya coba menyimak lebih lanjut
pembahasan di acara yang menghadirkan narasumber itu. Namun sayang saya lupa
siapa beliau. Pembicaraan antara presenter dengan narasumber tersebut terus
mengalir sambil diselingi dengan tayangan-tayangan lain. Pada saat penanyangan
itulah, titik terang mulai saya temukan. Rupa-rupanya ada keterikatan dengan
musim politik yang masih membekas. Saya hanya bisa tersenyum sebab tanda-tanda
balas dendam dan pengalihan opini itu mulai dikampanyekan.
Melihat tayangan itu, sekilas
saja, bagi orang awam pun sudah dapat mengetahui arah tujuan pembicaraan itu.
Benar saja, semua pastinya masih terkait dengan kekalahan calgub petahana yang
oleh mereka dianggap sebagai kekalahan tidak wajar. Jagoan mereka justru adalah
pahlawan yang akhirnya kandas ditelan isu agama dan orang-orang yang menganut
fanatisme. Kekuatan ummat yang berjilid-jilid akibat kesalahan fatal diri
sendiri, nyatanya memang dapat membungkam semua cara dan rencana yang sudah disiapkan.
Penggunaan isu agama tersebutlah
yang barangkali dianggap sebagai sebuah tindakan intoleransi di mata mereka. “Tuntut
penista agama” dan “haram pemimpin kafir” adalah sebagian jargon-jargon yang
dapat membuat tekanan darah semakin meningkat bahkan mungkin dianggap tindakan
radikal. Padahal, persoalan ini terletak pada kemampuan mereka dalam memahami
agama yang masih perlu diajari satu per satu.
Pemaknaan kata toleransi itu
sendiri sepertinya masih ditafsirkan secara kasar dan hanya berdasar pada
logika semata. Toleransi dianggap sebagai payung hukum terkuat yang akan
membentengi diri dari serangan perbedaan mendasar pada diri manusia tanpa
memahami hal-hal mendasar tersebut secara mendalam. Sehingga yang terjadi
adalah penggunaan “senjata” toleransi yang tidak pada sasarannya.
Untuk dapat memahami langsung
akar masalah ini, saya coba contohkan berdasarkan masalah yang terjadi. “Sakit
hati abadi” yang dialami sebagian orang tersebut berasal dari idola mereka yang
melakukan penistaan agama secara jelas dan meyakinkan di hadapan publik. Berita
penistaan ini sangat cepat menyebar dan tentunya memicu reaksi yang cepat pula,
bahkan lebih berdampak dari ajakan menolak pemimpin kafir.
Menyikapi masalah penistaan
agama-hal mendasar dalam diri manusia- ini tentu tak akan selesai di “meja
toleransi” saja. Agama yang dijunjung tinggi oleh semua pemeluknya lalu
tiba-tiba dilecehkan bahkan dihina oleh pihak lain yang berseberangan, pastinya
akan menyulut ketidakterimaan sekalipun itu terjadi pada ummat-ummat lainnya.
Tak perlu heran, jika gelombang penuntutan semakin menggema. Penuntutan ini
jelas tidak bisa dikatakan sebagai bentuk intoleransi.
Begitupun dengan ajakan menolak
pemimpin kafir tidak bisa serta merta dikatakan sebagai bentuk intoleransi umat
Islam terhadap agama lain. Hal tersebut bersumber dari Al-Quran-meskipun
terjadi perbedaan dalam hal penafsiran- sebagai sumber utama ajaran Islam dan wajib diyakini oleh semua muslim yang
taat. Selagi tidak ada unsur-unsur kekerasan di dalam pelaksanannya, maka
sekali lagi tidak bisa dikatakan sebagai bentuk intoleransi. Justru kalau
dibalik, harusnya pihak sanalah yang toleransi dengan ajaran Islam yang telah
digariskan demikian dan tidak boleh sakit hati apalagi menyimpan dendam sampai
mati.
Yang wajib digarisbawahi bahwa
toleransi hanya ada pada tataran kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam sendiri
juga dikenal konsep toleransi yang mana lebih menitikberatkan pada membiarkan
orang-orang non muslim melakukan ritual agama ataupun merayakan hari rayanya
dan tidak boleh diusik sedikitpun. Islam juga sama sekali tidak melarang umat
Muslim untuk berhubungan baik dengan non muslim, malah menganjurkannya seperti
misalnya tolong menolong, menjalin hubungan kekerabatan, bekerjasama dalam
urusan pekerjaan dan sebagainya.
Di dalam Al-Quran sendiri
dikatakan, “Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zalim,” (Q.S.
Al-Mumtahanah: 8-9). Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa setiap muslim
hendaknya berbuat baik kepada orang lain(termasuk non muslim) selama ia tidak berkaitan
dengan agama (memerangi atau mengusir umat Islam)
Toleransi tidak berlaku pada
ranah aqidah karena aqidah tak dapat ditawar-tawar. Orang-orang yang menghina
Al-Quran padahal Al-Quran adalah kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam
dan diyakini kebenarannya, maka wajar jika umat muslim meradang. Hal inipun
sebenarnya juga akan berlaku bagi umat manapun tatkala kitab sucinya dihina.
Pada masanya orang-orang yang
berasal dari kafir Quraisy pernah berkata kepada Nabi. “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan
kalian(muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala
permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih
baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan itu.
Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu,
engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14:425). Dalam hal
ini Nabi dengan keras menolaknya karena bertentangan dengan aqidah Islam.
Sampai hari ini ibu kota Jakarta
masih baik-baik saja. Kedekatan ummat Masjid Istiqlal dan jemaat Gereja
Katedral yang dianggap sebagai simbol toleransi beragama, nyatanya masih
terawat dengan baik. Begitupun dengan pemeluk agama dan rumah ibadah lainnya.
Lantas, toleransi macam apa lagi yang harus dikembalikan. Wallahu a’lam
bisshawab.
sumber gambar : WAG