Memasuki tahun 2018, suhu politik
di Indonesia diperkiran kembali memanas khususnya dalam pertaruhan pemilihan
kepala daerah atau Pilkada. Berbagai macam strategi, manuver hingga intrik
politik akan kembali tersajikan di depan mata. Bagi mereka yang ingin mengambil
untung, tentulah saat-saat seperti ini merupakan kesempatan emas. Berbagai
macam figur pemimpin akan bermunculan seiring dengan dinamisnya dunia
perpolitikan tanah air.
Tak sampai disitu, puncak dari
semua ini nantinya adalah pemilihan presiden 2019. Tahun 2018 adalah masa
pengumpulan “amunisi”, baik oleh perorangan ataupun kelompok elite parpol dan
2019 adalah momen “menembakkannya”. Kurang lebih begitu gambarannya. Kekuatan
partai politik sedikit banyaknya akan tercermin dari pemilihan kepala daerah
ini. Akan diketahui mana partai yang memiliki elektabilitas tinggi dan juga
sebaliknya.
Jika mengacu pada pemilihan
presiden 2019, maka akan muncul sejumlah nama yang diprediksi akan meramaikan
pesta lima tahunan ini. Siapa lagi kalau bukan petahana Joko Widodo dan “musuh
babuyutan”, Prabowo Subianto. Dikutip dari CNN Indonesia, berdasarkan survei
yang dilakukan PolMark pada 9-20 September 2017 dengan responden 2.250 orang
dari 32 provinsi menyebutkan bahwa Presiden Jokowi masih menempati posisi
teratas dengan memperoleh 41,2 persen. Disusul Prabowo Subianto dengan suara
sebesar 21 persen. (22/10/2017).
Meski dua nama tersebut yang
memiliki kemungkinan besar untuk maju, tidak menutup kemungkinan dunia politik
Indonesia akan diwarnai dengan kedatangan aktor-aktor politik baru. Masih dari
hasil survei PolMark, ada sejumlah nama baru yang mulai bermunculan. Antara
lain Agus Harimurti Yudhoyono (2.9 persen), Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid
Baswedan (2,2 persen), Hary Tanoesoedibjo (2 persen) dan mantan Panglima TNI
Gatot Nurmantyo (2 persen). Nama-nama inipun tidak terlalu asing di telinga
masyarakat. Belakangan, nama-nama ini sering disebut-sebut, baik di media cetak
maupun elekronik.
Memang masih terlalu dini untuk
memprediksi siapa yang akan menjadi rival Jokowi selanjutnya. Seiring dengan culture politik yang amat dinamis, bisa
saja hal-hal yang diluar prakiraan banyak orang akan terjadi. Tapi juga tak ada
salahnya untuk mencermati gejala-gejala ini sebagai persiapan menuju pilpres
agar tidak salah sasaran nantinya dalam memilih.
Dilansir dari situs
Republika.co.id, Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan ada tiga
nama yang namanya terus mencuat di kalangan masyarakat. Mereka adalah Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY), Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo (3/12/2017). Hasil
ini tidak berbeda jauh dari hasil survei PolMark yang sudah diterangkan
sebelumnya. Itu artinya tidak menutup kemungkinan tiga nama ini bisa saja maju
sebagai capres penantang Jokowi meskipun juga terbuka peluang mereka menjadi
Cawapres Jokowi. Hal ini bisa terlihat dari hasil survei Indo Barometer yang
menduetkan Joko Widodo-Gatot Nurmantyo dan memperoleh nilai 47,9 persen.
Yang menarik dari ketiga nama itu
adalah dua dari mereka memiliki latar belakang sebagai militer. Itu belum
termasuk Prabowo Subianto yang merupakan mantan petinggi Kopasssus. Agus Harimurti
Yudhoyono adalah seorang tentara Angkatan Darat lulusan Akademi Militer tahun
2000. Jabatan terakhirnya sebelum hengkang adalah Komandan Batalyon Infanteri
Mekanis 203 Arya Kemuning. Ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden
ke-6 Indonesia dan sekarang masih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. SBY juga
merupakan lulusan Akademi Militer tahun 1973 dan seorang Purnawirawan. Karir militer
AHY maupun SBY terbilang cukup baik.
Sementara itu Gatot Nurmantyo
adalah mantan Panglima TNI era Presiden Joko Widodo sebelum digantikan Kepala
Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Nama Gatot memang
sudah dikenal banyak masyarakat dan popularitasnya semakin melonjak. Citranya di
masyarakat juga terbilang positif. Tidak heran jika namanya sering
disebut-sebut lembaga survei dengan elektabilitas yang cukup baik.
Lalu bagaimana dengan Anis
Baswedan yang sekarang menjabat Gubernur DKI Jakarta? Tak ada yang tak mungkin
dalam politik. Semua bisa saja terjadi. Semua orang bisa saja menjadi calon
presiden. Apalagi jika menilik sejarah Presiden Jokowi sekarang yang berhasil
menjadikan DKI Jakarta sebagai “batu loncatan” untuk menuju istana. Tentu Anis
juga punya kesempatan tersebut. Hanya saja semua itu kembali lagi pada dirinya
sendiri. Apakah hanya mengurusi Jakarta atau mau mengadu nasib di Pilpres 2019
berbekal parpol yang selama ini mengusungnya dan juga hasil survei yang lumayan
bagus.
Berkaca dari kemungkinan empat
nama itu akan maju, yang mana mayoritas dari kalangan militer, maka Presiden
Jokowi seolah sedang menyiapkan “prajurit tempurnya”. Reshuffle Kabinet Kerja
jilid IV pada awal tahun 2018 begitu kentara dengan masuknya dua Jenderal
sekaligus. Selain masuknya Idrus Marham menggantikan Khofihah Indar Parawansa
dan Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar yang menggantikan Hasyim Muzadi (alm),
nama Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sempat mencuri perhatian. Mantan Panglima TNI
ini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden menggantikan Teten Masduki. Sebuah jabatan
yang amat dekat dengan Presiden.
Dengan masuknya Moeldoko dan Agum
Gumelar, maka kini “squad” Presiden Jokowi benar-benar bertabur para jenderal,
baik dari lingkungan TNI ataupun Polri. Terhitung ada 11 Jenderal di barisan
Joko Widodo. Mereka adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko (Kepala Staf Presiden),
Agum Gumelar (Wantimpres), Wiranto (Menko Polhukam), Ryamizard Ryacudu
(Menhan), Subagyo Hadi Siswoyo (Wantimpres), Budi Gunawan (Kepala BIN), Luhut
Binsar Pandaijatan (Menko Kemaritiman), Yusuf Kartanegara (Wantimpres), Gories
Mere (Staf Khusus Presiden), Djoko Setiadi (Kepala BSSN), dan Sidarto Danusubroto
(Wantimpres). (dilansir dari Brilio.net).
Harus diakui bahwa kehadiran para
jenderal ini bisa membawa pengaruh yang baik dalam kinerja pemerintahan. Dari segi
kepimpinan dan pengalaman, tentu mereka tak perlu diragukan lagi. Begitupun dari
sisi politis, hal ini sedikit banyaknya juga akan mempengaruhi citra pemerintah.
Sejak dahulu, kalangan militer cenderung memiliki citra positif dan dipercaya
kebanyakan masyarakat. Tak heran jika dibeberapa wilayah pada kontestasi
Pilkada tahun ini, sejumlah calon dari background
TNI Polri menyatakan diri maju. Sebut saja Pangkostrad TNI Letjen Edy Rahmayadi
(calon gubernur Sumut), Irjen Murad Ismail (Maluku), Irjen Safarudin (calon
gubernur Kaltim), Brigjen Siswandi (Cirebon), Mayor Infantri David Suardi
(Bengkulu), AKBP Ilyas (Kota Bau-Bau) dan Mayjen TNI (Purn) Sudrajat (calon
gubernur Jabar).
Adanya pasukan jenderal ini
seperti ditujukan Presiden untuk membendung kekuatan penantang yang kemungkinan
berasal dari militer seperti disinggung sebelumnya. Memang tujuannya bukanlah
untuk mendulang suara prajurit TNI dan Polri karena sesuai undang-undang mereka
tak memiliki hak suara untuk menjaga netralitas. Namun para jenderal ini akan
mampu memperkuat kedudukan Jokowi untuk kembali maju pada Pilpres mendatang. Para
jenderal biasanya memiliki jaringan yang luas sehingga berpotensi menjadi
dukungan untuk atasan mereka (baca: Presiden).
Dikutip dari Nusantaranews.co
Direktur Eksekutif Median Rico Marbun dalam analisisnya mengatakan bahwa
berbagai survei menunjukkan saat ini penantang potensial Jokowi adalah Prabowo.
Latar belakang militer Prabowo membuat banyak gerbong militer berbaris di
belakangnya. Dengan memperkuat barisan jenderal pendukungnya, Jokowi bisa
mengimbangi bahkan mengalahkan pasukan pendukung Prabowo (20/1/2018).
Tak hanya itu, bisa jadi para
jenderal ini sengaja dipersiapkan untuk mendampingi Jokowi di Pilpres. Sosok dari
TNI atau Polri memang disebut-sebut sangat ideal mendampingi Jokowi untuk
kembali berlaga. Bisa saja Jokowi nantinya akan berpasangan dengan Moeldoko,
Luhut atau mungkin Budi Gunawan. Tentu tak ada yang tak mungkin. Bahkan dalam surveinya
pada 13-25 November 2017, PolMark Research Center (PRC) menemukan hasil apabila
Jokowi dipasangkan dengan Budi Gunawan akan memperoleh 65 persen pemilih dan
mengungguli pasangan-pasangan lain (bisnis.com, 19/12/2017). Apakah Anda
setuju?.
Terlepas dari semua itu, tentu
yang disampaikan di atas masih sebatas analisa sederhana. Terjadinya big surprise masih sangat memungkinkan. Kita
tunggu saja seperti apa kejutan-kejutan itu. Satu hal yang jangan sampai
dilupakan nantinya adalah jangan mudah termakan oleh janji-janji politik
apalagi sekadar uang beberapa lembar. Pemimpin negara bukanlah simbol negara semata,
namun di tangannyalah nasib lebih dari 250 juta orang akan ditentukan. Kita tunggu
saja. Walllahu’alam bisshawab.
*Sumber gambar
: merdeka.com