Rangkaian acara the 16th
Journalis Days yang diadakan Badan Otonom Economica FEB UI akhirnya telah
selesai. Selama 4 hari penuh kami menjalani jadwal yang padat dan cukup
melelahkan. Sebagaimana lazimnya pertemuan yang akan bermuara pada perpisahan,
tentu saja ada rasa sedih tatkala harus berpisah dengan teman-teman yang sudah
seperti saudara sendiri. Meski baru mengenal mereka dalam waktu kurang lebih 4
x 24 jam, namun rasa-rasanya telah terjalin hubungan yang erat.
Suasana sore hari di FEB UI kami
habiskan dengan berfoto bersama serta bersenda gurau. Tak lupa juga berpamitan
dengan seluruh panitia yang sudah melayani dengan setulus hati. Jarak yang jauh
memisahkan kami, mungkin akan benar-benar menjadi penghambat untuk bisa bersua
kembali. Namun semoga saja ada saatnya untuk bertemu lagi.
(sampai jumpa lagi kawan-kawan)
Meski acara telah berakhir, aku
dan temanku masih belum memesan tiket pesawat untuk pulang. Beberapa hari yang
lalu, ketika kami mengenal Ical yang memang satu kamar dengan kami, serta
Endang yang merupakan partner Ical, kami telah merencakan untuk pergi ke
beberapa objek wisata di Kota Jakarta. Alasannya simpel, kami yang datang
jauh-jauh dari Kalimantan dan Makassar ini, rasanya rugi jika tidak berlibur ke
Jakarta. Jarak antara Depok dan Jakarta juga tak terlalu jauh. Memang di hari
ketiga kami mengikuti training di
Jakarta, namun itu bukanlah sebuah liburan. Bermodal nekad, kami pun menyusun
rencana.
Ada banyak sekali pilihan tempat
wisata yang ingin kami kunjungi. Mulai dari Monas, Ancol, TMII, Masjid
Istiqlal, Ragunan, Kota Tua dan lain-lain. Dari beberapa pilihan tersebut
terpaksa kami kerucutkan untuk menyesuaikan dengan waktu yang kami punya.
Akhirnya disepakati tempat yang akan kami tuju adalah Monas, Masjid Istiqlal,
dan Kota Tua.
Pagi Jumat kami segera mengemas
barang-barang dari Margonda Residence. Selama di Jakarta, nantinya kami akan
menginap di rumah Mas Towik yang merupakan kenalan Endang. Alamatnya ada di
Jeruk Purut. Setelah selesai berkemas, kami turun ke bawah untuk menyerahkan
kunci dan menunggu Grab datang menjemput.
Perjalanan kami lalui dengan hati
yang senang. Selama di mobil, ku lihat hanya aku dan sang sopir yang tetap
terjaga. Tiga orang lainnya tertidur ayam. Mungkin karena masih kecapaian. Aku
sendiri sengaja tidak tidur karena ingin melihat secara langsung Kota Jakarta.
Di beberapa tempat, aku sengaja membuka kaca mobil agar bisa melihat dengan
lebih jelas.
Kami akhirnya sampai di rumah mas
Towik meski sebelumnya sempat bingung mencari lokasinya. Rumah mas Towik berada
tepat di samping pekuburan Jeruk Purut. Meski kuburan, nyatanya tempat itu
sangat rapi dan terawat. Rumput-rumput hijau tumbuh subur sehingga lebih mirip
seperti taman. Setelah menaruh barang-barang di kamar atas, kami kemudian
disuguhkan makan. Karena memang sudah lapar, kami sikat saja semua makanannya.
Perjalanan yang cukup panjang nantinya juga menuntut kami untuk punya cadangan
tenaga yang lebih.
Tempat utama yang kami datangi
adalah Monas. Kami kesana menaiki Grab. Kemacetan tak terhindarkan sehingga
kami baru bisa sampai disana sekitar pukul 12.30 atau mendekati waktu solat
Jumat. Dengan waktu yang terbatas itu, kami manfaatkan semaksimal mungkin untuk
menikmati kawasan Monas yang begitu luas. Di depan kami, tugu Monas berdiri
gagah seolah menopang langit.
Tak terasa waktu solat Jumat
semakin dekat. Awalnya kami ingin menunaikan solat Jumat di Masjid Istiqlal.
Namun mengingat waktu yang semakin mepet dan jarak ke Istiqlal cukup memakan
waktu, akhirnya kami solat Jumat di masjid yang ada di kawasan Lenggang Jakarta
yang masih dalam kawasan Monas. Masjid itu tak terlalu besar, mungkin lebih
mirip dengan musholla saja. Tapi cukup menampung jamaah untuk solat Jumat. Adapun
tema khutbah saat itu membahas tentang riba.
Selesai solat, kami melanjutkan
perjalanan menyusuri kawasan Monas dengan berjalan kaki. Tak lupa juga kegiatan
berfoto yang wajib dilakukan, terlebih bagi kami yang mungkin akan sangat
jarang ke tempat ini. Dari kejauhan, nampak barisan panjang mengular di
pelataran Monas. Hal itu jualah yang membuat kami mengurungkan niat untuk naik
ke sana. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di taman-taman yang ada. Waktu
itu terik matahari benar-benar membakar kulit.
Selain mengagumi keindahan Monas,
ada satu hal lain yang bisa aku rasakan. Pikiranku kembali teringat akan sebuah
peristiwa besar yang pernah terjadi di kawasan Monas ini. Saat itu, tepat pada
tanggal 2 Desember 2017, jutaan orang dari berbagai daerah, latar belakang,
hingga aliran, berkumpul di tempat ini. Mereka datang bukan karena mobilisasi
oleh pihak tertentu, tapi aku meyakini bahwa kekuatan iman dan seruan hati
nurani untuk membela agamalah yang menggerakkan mereka. Aksi bersejarah itu
kemudian dikenal dengan Aksi Damai 212. Suatu peristiwa yang masih segar di benak
banyak orang
Sekadar merefresh ingatan kita,
bahwa Aksi 212 menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam masih punya ghirah
atau semangat berislam yang tinggi. Siapa saja yang berani menistakan ajaran
Islam, maka tunggulah reaksi dari umat yang membentang dari Sabang sampai
Merauke ini. Umat Islam tidak mencari musuh, namun ketika agama dihina ataupun
dinista, maka jangan salahkan umat Islam jika berontak.
Setelah puas di Monas,
selanjutnya kami menuju masjid Istiqlal. Sebelum itu tak lupa kami membeli
oleh-oleh terlebih dahulu. Aku sendiri membeli baju, gantungan kunci, magnet
kulkas, dan miniatur monas. Harganya lumayan terjangkau. Oleh-oleh itu nantinya
bisa dibagikan di rumah.
Menuju Masjid Istiqlal, kami
mencoba menaiki Bis Tingkat Wisata yang disediakan Pemkot DKI secara gratis.
Tak perlu menunggu lama, sebuah bis bertingkat singgah di halte yang
disediakan. Kami pun masuk ke dalam bis dan mencari posisi duduk di bagian
atas.
Untuk sampai ke Masjid Istiqlal,
bis ini tidak langsung kesana, tetapi melalui beberapa rute lain terlebih
dahulu. Sebenarnya jarak dari Monas ke Masjid Istiqlal tidak terlalu jauh, cuma
karena ini bis berputar-putar dulu jadi terasa lebih lama sampainya. Tapi hal
itu tidak menjadi masalah.
(countdown Asian Games di bundara HI)
Rasa kagum dan ketidakpercayaan
masih aku rasakan seraya mengangkat takbir bersama ratusan jamaah lainnya.
Masjid yang dibangun era Soekarno ini benar-benar luas dan megah. Tihang-tihang
utamanya begitu besar. Masjid ini juga terdiri dari beberapa tingkat. Kalau
biasanya aku melihat masjid ini ketika siaran solat Jumat berlangsung di TVRI,
kini bisa aku rasakan sendiri bagaimana atmosfer yang luar biasa dalam masjid
ini.
Lagi-lagi, ingatan akan Aksi Damai 212 itu kembali menyeruak. Masjid ini tentu menjadi saksi bisu akan peristiwa bersejarah tersebut. Masjid ini merupakan salah satu basis dan tempat berkumpul sekaligus beristirahat para jamaah, terutama bagi mereka yang datang dari tempat jauh. Coba aku bayangkan, bagaimana saat itu masjid ini menjadi lautan manusia berpakaian serba putih dengan pekikan takbir yang membara. Meski banyak pula orang-orang di luar sana yang nyinyir dengan mereka, tapi toh semua yang dilakukan semata-mata sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah. Mereka hanya ingin menempatkan diri pada barisan yang membela agama. Sayang, aku berada jauh dari masjid ini sehingga hanya sederet doa yang saat itu bisa aku langitkan.
Usai solat, aku tak langsung
beranjak. Aku mengarahkan pandangan ke sekelilingku. Saat itu masjid cukup
ramai dengan banyaknya para jamaah. Aku dan temanku juga mencoba menyisir
beberapa tempat yang kami lalui, termasuk sebuah tempat luas dan lapang. Dari
sana terlihat gedung-gedung tinggi yang mengelilinginya. Tak lupa aku mengambil
foto sebagai kenang-kenangan saja.
Kami kemudian berkumpul kembali di titik yang tadi kami sepakati. Sebelum menuju Kota Tua, kami mencari makan sebentar di tempat para pedagang. Disana aku memesan sepiring ketoprak. Seusai itu perjalanan kami lanjutkan masih menggunakan Bis Tingkat.
Setibanya di Kota Tua, terlihat
lalu lalang manusia yang begitu banyak disana. Suasana sore itu benar-benar
ramai hingga ke dalam kawasan Kota Tua. Untuk pertama kalinya, aku bisa secara
langsung menyaksikan bangunan-bangunan tua yang sudah ada sejak era kolonial.
Di kawasan itu terdapat beberapa museum, kantor, bahkan Indomaret sekalipun.
Kegiatan yang kami lakukan selain
mengamati satu per satu bangunan, tentu saja berfoto di tempat-tempat yang
bagus. Matahari yang tak lagi terlalu bersinar membuat suasana menjadi teduh. Para
penyanyi jalanan hingga orang-orang yang bersepeda membuat sore semakin
mengasyikkan.
Hari mulai berganti. Perasaa
capek akibat beraktivitas seharian juga telah terasa. Kami pun pulang. Awalnya
kami ingin memesan Grab Car. Namun setelah melihat biaya yang cukup tinggi,
kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan kereta api terlebih dahulu, baru
dilanjutkan dengan Grab. Kami menuju Stasiun Kota yang terletak tak jauh dari
Kota Tua. Ini adalah pengalaman pertamaku menggunakan kereta api karena di
Kalimantan memang masih belum ada.
Apa yang kami alami hari ini
adalah perjalanan yang tak terlupkan sampai kapanpun. Ada banyak tempat yang
kami singgahi dan cerita yang kami temui. Semoga perjalanan ini tak sekadar
untuk berlibur, tetapi menjadi jalan untuk semakin mendekatkan diri pada sang
pencipta semua ini. Selama perjalanan pulang, momen-momen menyenangkan hari ini
kembali melintas dalam benakku. Masya Allah. Mahasuci Allah.