Agustus 2018 - Podium.com

Sabtu, 04 Agustus 2018

Malu Bertanya Sesat Di Mana-mana; Sebuah Tanya Tentang Tanya

Agustus 04, 2018 0
Malu Bertanya Sesat Di Mana-mana; Sebuah Tanya Tentang Tanya

Sebelum Anda membaca tulisan ini, ada baiknya jika saya terlebih dahulu bertanya untuk apa Anda membaca tulisan saya ini?. Bukankah hal itu hanya membuang waktu santai Anda atau bisa jadi Anda merasa muak dengan tulisan ini. Saya tidak menjamin tulisan ini layak disebut tulisan. Lantas, mengapa sekarang Anda tak langsung mengabaikannya?

Pertanyaan saya di atas sebenarnya tak perlu Anda jawab karena sejatinya memang tidak untuk dijawab. Kalaupun Anda mau menjawabnya, silakan saja. Saya tidak memaksakan hal itu. Pertanyaan di atas sengaja saya lontarkan hanya untuk melatih diri saya agar terbiasa bertanya. Mengapa? nanti akan saya jelaskan.

Sejak lahir, sebenarnya manusia sudah dan akan selalu diliputi oleh banyak tanda tanya. Mulai dari perkara sederhana yang bisa dengan mudah dijawab hingga perkara kompleks dan menuntut banyak energi serta waktu untuk menjawabnya. Sebut saja tanya itu berupa mengapa ia dilahirkan dari seorang ibu yang (anggap saja) tergolong keluarga sederhana? Mengapa dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan?, mengapa harus menangis ketika seorang bayi keluar dari rahim ibunya?, mengapa tubuh manusia ada yang mengalami pertumbuhan atau bahkan tidak terjadi hal itu. Hingga pertanyaan yang sangat menentukan arah dan tujuan hidup manusia selanjutnya, seperti dari mana manusia berasal, untuk apa manusia dilahirkan, dan akan kemana manusia setelah fase kematian.

Sayangnya manusia tidaklah terlalu cerdas untuk bisa menjawab semua tanya itu bahkan ketika usia terus berlalu. Meskipun tentu saja juga ada yang bisa dijawab secara rasional dan memuaskan akal. Atau bisa jadi sebenarnya jawaban itu sudah tertera jelas namun lagi-lagi “keluguan” yang ada pada diri manusia membuat jawaban-jawaban itu serasa tak pernah ada. Berusaha mencari jawaban namun tak pernah menemukan. Atau parahnya memang sama sekali tak ada niat untuk mencari jawabnya.

Namun kali ini saya tidak terlalu membahas secara mendalam tentang esensi, filosofi, ataupun hal-hal lain seputar tanya. Tentu perlu waktu yang panjang serta tulisan yang bisa jadi berpuluh-puluh atau bahkan ratusan halaman untuk menuliskannya. Itupun belum bisa dikatakan sempurna. Membahas sebuah pertanyaan kadang-kadang justru berkahir dengan pertanyaan lain.

Ketika pertanyaan muncul dari seorang individu, setidak-tidaknya ada dua alasan. Pertama muncul karena murni ketidaktahuan, dan kedua karena kepentingan. Alasan kedua ini sebenarnya dapat dirincikan lagi seperti untuk menguji pengetahuan seseorang, menggoyahkan hati dan fikiran orang lain, mengajak berdebat, ingin mempermalukan salah satu pihak, iseng, menghabiskan waktu luang, dan lain-lain.

Adapun alasan karena ketidaktahuan sehingga muncul sebuah pertanyaan, adalah sesuatu yang wajar bahkan menjadi wajib dilakukan. Harus ditanyakan jika itu menyangkut hal-hal penting untuk diketahui dalam hidup manusia. Ketidaktahuan yang dipelihara selama bertahun-tahun tak ubahnya seperti melakukan investasi keburukan di masa mendatang.

Meski demikian, filter pada pertanyaan yang diajukan haruslah ada. Artinya tidak semua tanya harus ditanyakan. Bagaimanapun sesuatu yang berlebihan tidaklah baik. Ada pertanyaan yang harus kita cari sendiri jawabannya tanpa harus pertanyaan itu terlontarkan. Harus diingat pula bahwa ada pertimbangan lain saat mengajukan tanya seperti halnya situasi dan kondisi. Jika ada orang-orang sedang berusaha keras memadamkan kebakaran, namun tiba-tiba ada seseorang yang menanyakan bagaimana cara membuat kue bolu yang enak, apakah hal itu tepat dilakukan. Meskipun itu ditanyakan karena ketidaktahuan dan bagi penanya penting untuk mengetahuinya. Namun tetap saja salah karena “timing” yang tidak tepat.

Sebutan orang yang “kepo” misalnya. Muncul karena serangkaian pertanyaan yang itu ditujukan  secara “ekstrim” kepada orang lain dengan mengangkat tema yang harusnya bukan untuk dipublikasikan. Katakanlah mereka benar-benar bertanya karena tidak tahu dan kemudian ingin tahu, namun muncul pertanyaan; sepenting apakah mengetahui hal tersebut. Belum lagi jika berhadapan dengan orang yang tertutup, antisipatif, dan tidak suka dengan banyak tanya. Tidak menutup kemungkinan di situ akan terjadi konflik.

Belum lagi jika berbicara mengenai orang yang “sok” kritis. Orang semacam ini seringkali melemparkan pertanyaan yang tajam dan mendalam. Secara kasat mata, terlihat “elegan” karena bisa menunjukkan bahwa penanya adalah orang yang pemikir. Namun sangat disayangkan bahwa semua pertanyaan itu bisa saja sekadar lalu. Seperti pepatah, “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”. Itu terjadi karena memang tujuannya hanya untuk mendapatkan kepuasan ketika orang lain bungkam dengan pertanyaannya. Tipikal orang semacam ini seringkali membuat kesal orang lain dan menyia-nyiakan kesempatan.

Lalu bagaimana dengan orang yang bertanya, yang itu justru dapat melawan kebathilan. Katakanlah ada seseorang yang difitnah salah padahal ia benar, lalu kemudian ia menyodorkan pertanyaan pada orang-orang yang ia yakini berada di balik itu, dengan pertanyaan yang pada akhirnya dapat membungkam orang tersebut. Apakah itu salah? Menyikapinya tentu dengan mengembalikan pada konteks yang ada. Pertanyaan memang bisa dibuat untuk melakukan serangan balik kepada orang lain. Di sinilah tujuan memegang peran penting. Untuk apa hal itu dilakukan, apakah untuk kebaikan atau keburukan. Dari situlah dapat dinilai kebenarannya.

Posisi terpojokkan tidak selalu ada pada diri si penanya. Kadang kala, justru si penerima pertanyaan juga menunjukkan tindakan-tindakan yang kurang tepat. Lebih parah jika ada orang yang menawarkan agar orang lain bertanya, namun setelah pertanyaan terlontar justru dijawab dengan jawaban yang membuat penanya malah menjadi malu, takut, bahkan trauma.

Contoh mudahnya misal di dalam kelas perkuliahan. Seorang dosen membuka sesi tanya jawab kepada para mahasiswanya. Tak lama, salah seorang mahasiswa itu bertanya dengan niat mencari tahu. Terbayang jika ternyata jawaban dosen sama sekali tidak diduga dengan mengatakan, misalnya:
(a)    “Ini pertanyaan yang tidak berbobot sama sekali”
(b)   “Kamu ini mau bertanya atau apa?”
(c)     “Orang yang bertanya seperti ini pasti malas belajar”
(d)   “Pertanyaan ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam pola fikirmu”
(e)    (dan masih banyak lagi jawaban serupa bahkan lebih parah)

Jawaban-jawaban yang muncul itu tentu saja sangat tidak diharapkan oleh si penanya. Apa jadinya jika bukan jawaban, melainkan rasa malu yang ditanggungnya.

Dalam hal inilah diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dalam menanggapi sebuah pertanyaan. Tentu saja dalam konteks pertanyaan tersebut diajukan dalam rangka mencari tahu, bukan sekadar iseng belaka apalagi pura-pura bodoh. Jika berada dalam konteks ini, maka kurang pantas rasanya jika dijawab dengan amarah, emosi, bahasa yang kasar, ataupun sampai menghina si penanya. Secara logika, memangnya siapa yang ingin memelihara ketidaktahuan. Apa salahnya memberikan jawaban yang proporsional. Toh, energi yang dikeluarkan akan sama saja. Setidaknya bisa menjaga perasaan si penanya.

Memang yang menjadi masalah selanjutnya adalah terjadinya bias antara orang yang bertanya karena ketidaktahuan kemudian sungguh-sungguh ingin mencari tahu, dengan orang yang bertanya untuk kepentingan, seperti yang disinggung sebelumnya. Salah dalam menilai, maka akan salah pula dalam memberikan respon. Padahal dua hal ini akan selalu ada. Bisa jadi kita juga pernah mengalaminya, baik sebagai penanya ataupun penjawab, baik sebagai penanya karena rasa ingin tahu ataupun sekadar kepentingan.

Lantas, apa yang sekarang bisa saya lakukan? Oh tidak, saya sebenarnya tidak paham dengan tulisan di atas, memang apa maksudnya?

Ah sudahlah, memang tidak akan pernah habis membahasnya. Seperti yang saya katakan di awal, membahas pertanyaan justru bisa berakhir dengan pertanyaan.

Semoga tetap semangat menjalani hidup!!!

sumber gambar : pixabay.com