Masih segar diingatan kita
tentang seorang mahasiswa pemberani sekaligus aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa
dari Universitas Indonesia, Zadit Taqwa yang sempat membuat masyarakat
Indonesia tercengang. Bagaimana tidak, ia tanpa ragu meniup pluit dan
mengacungkan kartu kuning besar langsung di hadapan Presiden Jokowi yang kala
itu baru menyelesaikan sambutannya dalam perayaan Dies Natalis Universitas
Indonesia yang ke-68. Meski pada akhirnya, ia “dipukul” mundur oleh Paspampres.
Sontak saja aksi di luar dugaan
itu seketika menyita perhatian publik. Sebagaimana lazimmnya sebuah aksi, maka
akan diikuti reaksi setelahnya. Berbagai macam reaksi, entah itu pro maupun
kontra bermunculan bahkan saling berbalasan. Cuitan atau nyinyiran meramaikan
dunia nyata dan dunia maya. Bahkan tagar Kartu Kuning Jokowi sempat menjadi trending topic di media sosial Twitter.
Ini membuktikan bahwa apa yang dilakukan Ketua BEM UI tersebut bukan perkara
receh.
Hanya saja, semakin kesini
semakin penulis merasa bahwa ada penggiringan opini yang mendiskreditkan nama
besar pergerakan mahasiswa. Banyak pernyataan, umpatan bahkan cacian yang
ditujukan kepada mahasiswa khususnya mereka yang bergerak dalam mengkritisi
kebijakan penguasa. Hal ini bisa dilihat dari perbincangan di media sosial yang
ujung-ujungnya ingin mengatakan bahwa mahasiswa hanya bisa bicara tanpa
berbuat, tak punya etika, suka mengkritik namun tak punya solusi, merasa paling
benar dan sebagainya.
Banyak orang yang kontra terhadap
apa yang dilakukan Zadit Taqwa karena ia dianggap melanggar etika, tak punya
sopan santun di hadapan kepala negara, mencoreng almamaternya sendiri, bahkan
hanya sekadar mencari sensasi. Saya sendiri memahami mengapa mereka berpendapat
demikian. Disini memang telah terjadi “pertempuran” antara mereka yang
bergolongan apatis, pragmatis, sekuleris, budak penguasa, dengan mereka yang
kritis dan peduli pada nasib bangsa. Kesalahan terbesar mereka adalah
ketidakmampuan memahami pesan-pesan yang ingin disampaikan seorang Zadit Taqwa.
Penulis disini memandang apa yang
dilakukan Zadit sebagai sesuatu yang positif dan sah-sah saja untuk dilakukan. Setidaknya
ada tiga hal yang bisa penulis baca dari aksi ini. Pertama, Zadit membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia tak akan
pernah diam pada persoalan bangsanya. Sejak meletusnya “perang” reformasi 1998,
mahasiswa semakin yakin bahwa predikat “Agent of Change” tidak sekadar teori di
buku-buku sosiologi, namun benar-benar terjadi. Aksi kartu kuning itu menjadi
salah satu gebrakan yang berhasil dilakukan untuk membuktikan bahwa Mahasiswa
akan selalu ada untuk Indonesia.
Dalam setiap pergerakannya,
mahasiswa akan selalu dihadapkan oleh mereka yang kontra terhadap apa yang
dilakukan. Jauh sebelum adanya aksi ini, mahasiswa sekarang sering dicap
sebagai mahasiswa yang sudah kehilangan idealisme dan jati diri, mengutamakan
materi, dimabuk asmara, sibuk dengan IPK, dan sebagainya. Namun aksi Zadit
sekali lagi menjadi sirine yang mampu membantah tuduhan-tuduhan semacam itu.
Meski pada akhirnya masih saja ada orang yang “kebakaran jenggot” dengan
membawa tuduhan-tuduhan seperti yang telah disampaikan pada paragrap empat
sebelumnya.
Kedua, Zadit ingin mengingatkan dan membuka mata masyarakat bahwa
Indonesia sekarang ini TIDAK sedang baik-baik saja. Berbagai macam permasalahn
terjadi bak fenomena gunung es. Tiga tuntutan Zadit dkk, seperti gizi buruk di
Asmat, Plt Gubernur dari Polri dan draft Ormawa hanyalah beberapa masalah yang
sekarang ini sedang terjadi. Di luar itu, masih banyak masalah lain yang tak
kalah urgen, sebut saja LGBT, perzinahan, kriminalisasi ulama, UU Ormas yang
berpotensi menjadi senjata “pembunuh”, hingga hilangnya moral para pelajar. Aksi
Zadit saya kira bisa menyadarkan masyarakat tentang keadaan bangsa kita
sekarang.
Ketiga, aksi tersebut dilakukan di momen yang tepat yaitu memasuki
tahun politik. Kartu kuning yang menjadi simbol peringatan tidak saja ditujukan
pada presiden, namun juga mereka yang memiliki kuasa di daerah-daerah agar
benar-benar bekerja untuk rakyat. Jangan hanya melakukan pembangunan
besar-besaran tatkala masa jabatan sudah hampir habis agar seolah-olah telah
berhasil melakukan pembangunan. Ataupun bagi mereka yang ingin maju Pilkada
yang sengaja melakukan safari ke pesantren-pesantren, ulama, tokoh masyarakat,
ataupun blusukan agar mendapat simpati dari masyarakat.
Adapun kontraversi lainnya yang
selama ini menjadi senjata untuk menyerang Zadit dan pasukan, saya kira juga
perlu dijelaskan. Bukan ingin membela Zadit mati-matian, namun dua hal ini
memang perlu diluruskan agar tidak salah dalam memposisikan diri dan memandang
suatu masalah. Paling tidak, apa yang saya sampaikan bisa menjadi bahan
pertimbangan dalam bertindak.
Serangan pertama dan utama oleh kelompok kontra adalah aksi Zadit telah
melanggar etika sebagai seorang mahasiswa. Masalah etika ini memang menjadi
titik sentral perdebatan. Sekadar untuk diketahui kembali bahwa etika menurut KBBI adalah
pengetahuan mengenai baik serta buruknya tingkah laku, hak serta keharusan
moral; sekumpulan asa atau nila-nilai yang terkait dengan akhlak; nilai tentang
benar atau salahnya perbuatan atau tingkah laku yang dianut
masyarakat. Menurut Drs. O.
P. Simorangkir,
etika adalah pandangan manusia terhadap baik dan buruknya tingkah laku manusia.
Ada satu keyword utama dari pengertian etika, yaitu baik dan buruk sebuah
perilaku. Karena sudah tau pengertiannya, kira-kira apakah yang dilakukan Zadit
dengan niat mengkritisi kebijakan pemerintah termasuk pelanggaran etika?
Silakan dijawab sendiri saja.
Kalau kita mau menengok sejarah
pada pergerakan mahasiswa reformasi 1998, akan kita temui banyak sekali
pelanggaran etika yang dilakukan. Menurunkan secara paksa penguasa, melawan
polisi dan tentara, menerobos pagar hingga menaiki dan menduduki gedung
DPR-MPR. Jika berpatokan dengan yang sekarang, maka mahasiswa dulu juga telah
melakukan pelanggaran etika. Namun nanti dulu. Justru dengan hal-hal semacam
itulah, reformasi dapat terjadi. Bangsa Indonesia akhirnya terbebas dari
keotoriteran penguasa, pembungkaman dan pengekangan menuju keterbukaan seperti
sekarang ini. Andai saja mahasiswa dulu menjadikan etika sebagai raja, mungkin
tak akan seperti ini keadaan bangsa kita (baca: tak ada reformasi).
Ketika saluran-saluran
penyampaian aspirasi sudah tertutup dan kalaupun ada namun saluran itu tak
pernah membuahkan hasil, maka mau tak mau harus dilakukan cara penyampaian
secara lebih “ekstrem”. Kalau kita cermati lagi, apa yang dilakukan Zadit
sebenarnya bukanlah pelanggaran etika berat. Hanya perbedaan persepsi saja.
Beda halnya jika Zadit misalnya bertelanjang di depan presiden, atau berteriak
dan berucap kasar kepada presiden secara langsung, maka jelas masuk kategori
pelanggaran. Tapi nyatanya tak seperti itu. Justru yang dilakukan Zadit adalah
cara yang halus, elegan, kreatif dan tepat sasaran.
Kalau mau kita bandingkan dengan
demo misalnya, maka pemberian kartu kuning tentu lebih halus dan mampu
memberikan efek psikologi yang mendalam. Buktinya aksi itu menjadi perbincangan
yang terus mengalir. Orang-orang kemudian semakin menyoroti kasus gizi buruk
dan campak di Asmat. Bantuan-bantuan semakin banyak datang. Media semakin
menyoroti kasus luar biasa tersebut. Inilah sebenarnya subtansi dari aksi
tersebut. Jangan malah sibuk memikirkan etika padahal belum tentu kita juga
mampu menjaga etika. Saya prihatin dengan banyaknya warganet yang mencaci dan
menghujat Zadit karena ia melanggar etika padahal tanpa sadar mereka sendiri
juga melanggar etika dalam berujar. Jika memberi kartu kuning melanggar etika,
lalu bagaimana dengan penguasa yang melupakan janji kampanyenya?
Pada intinya adalah bahwa etika
harus sesuai dengan konteks yang ada. Tak bisa disamaratakan. Apalagi ini hanya
berkaitan dengan cara mengingatkan dan mengoreksi pemerintah yang memang harus
dilakukan. Yang perlu diingat dan menjadi konsen kita bersama adalah sebab
musabab dari yang dilakukan Zadit. Tak akan pernah ada asap jika tak ada api.
Kedua adalah tudingan yang mengatakan bahwa Zadit tak tau fakta,
hanya bisa melakukan aksi konyol dan tak bisa berbuat apa-apa selain mengkritik
pemerintah. Disinilah letak terjadinya distorsi berfikir bagi sebagian orang. Perlu
saya tegaskan bahwa harus dibedakan antara kedudukan dan fungsi sebuah jabatan.
Seorang presiden dengan mahasiswa ibarat langit dan bumi. Tidak bisa disamakan
dari segi fungsi dan kewenangan. Wajar jika Zadit memberikan kritik kepada
pemerintah karena salah satu peran mahasiswa adalah menjadi kontrol pemerintah.
Presiden memiliki dua tugas yang
dibedakan menjadi tugas sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan.
Tugas Presiden sebagai Kepala Negara tercantum dalam peraturan Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD ’45), diantaranya: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara
(Pasal 34 Ayat 1); Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan (Pasal 34 Ayat 2); Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 Ayat 3).
Sedangkan tugas presiden sebagai kepala pemerintahan
diantaranya: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat 1); Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat
2); Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang (Pasal 20 Ayat 4); Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah (Pasal 28I Ayat 4); Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2); Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 31 Ayat 3)
Itulah gambaran beberapa tugas
seorang presiden. Sehingga yang terjadi seperti KLB Asmat, Plt Gubernur dan
sebagainya, sudah merupakan tanggung jawab presiden sebagai kepala negara dan
pemerintahan dibantu oleh para menteri dan lembaga-lembaga lainnya. Sedangkan mahasiswa
tidak memiliki wewenang semisal menyusun RAPBN untuk pembangunan, membuat
undang-undang, mengambil keputusan dan sebagainya. Jadi wajar saja jika
mahasiswa termasuk Zadit memberikan kritik kepada pemerintah selaku pemegang
mandat dari rakyat.
Selain itu, jika kita memahami
tugas-tugas tersebut, maka akan terdengar janggal ketika presiden mengatakan
ingin mengirim Zadit dkk ke Asmat agar bisa melihat langsung keadaan disana.
Pernyataan ini kemudian menimbulkan dua tafsir. Yang pertama seolah-olah
menandakan bahwa pemerintah sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa sehingga
mengharap bantuan mahasiswa. Memang sudah menjadi tugas mahasiswa untuk
membantu masyarakat sebagaimana tertuang dalam Tri Darma Perguruan Tinggi.
Hanya saja, pernyataan presiden tersebut kurang enak didengar. Kalaupun mau
melibatkan mahasiswa, harusnya berupa kalimat persuasif yang baik, bukan malah
seperti kalimat “tantangan”.
Kedua, pemerintah terkesan anti
kritik. Menyuruh Zadit dkk ke Asmat seperti ditujukan agar mereka diam dan
menerima keadaan disana sehingga tak lagi mengkritik pemerintah. Semua orang
juga sudah tahu bahwa Papua pada umumnya memiliki medan yang berat karena
didominasi pegunungan dan hutan. Namun apakah harus menyerah pada keadaan?. Hal
ini tentunya tidak bisa dianggap remeh karena berkaitan dengan nyawa orang
banyak.
Selama ini kita tahu bahwa
pemerintah di bawah komando Pak Jokowi sangat getol membangun Papua. Dibeberapa
kesempatan, presiden sering menyampaikan capaian-capaiannya dalam membangun
Papua. Kerja keras itu memang harus diapresiasi. Akan tetapi kasus luar biasa
di Asmat semakin menyadarkan kita bahwa pemerintah tidak boleh merasa hebat dan
cukup hanya dengan pencapaian itu saja. Pemerintah harus terus membangun Papua
hingga bisa setara dengan daerah lainnya. Disinilah aksi Zadit berusaha mengingatkan
itu semua. Apa salahnya? Bukankah kartu kuning sendiri hanyalah simbol dari
sebuah peringatan, bukan bermaksud “mengusir pemain dari lapangan?” Inilah yang
kemudian disebut sebagai kegagalan logika dalam memahami pesan Zadit Taqwa.
Itulah beberapa pandangan saya terhadap
aksi Zadit Taqwa yang saya anggap sebagai sesuatu yang baik. Jangan sampai
hujatan, cacian hingga nyinyiran yang dialamatkan kepada Ketua BEM UI ini
bukannya menjadikan mahasiswa lainnya menjadi kritis namun malah apatis dan
pragmatis. Apabila itu terjadi, maka nasib bangsa akan semakin tak menentu. Saya
pribadi yakin, bahwa suara mahasiswa tak akan pernah mati. Tanah ini sudah
banyak dialiri oleh darah para pemuda. Hidup Mahasiswa!!!
Wallahu a’lam bisshawab
sumber gambar : Tribunnews.com