Februari 2018 - Podium.com

Sabtu, 10 Februari 2018

Gagal Logika Memahami Pesan Zadit Taqwa

Februari 10, 2018 6
Gagal Logika Memahami Pesan Zadit Taqwa
Masih segar diingatan kita tentang seorang mahasiswa pemberani sekaligus aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Zadit Taqwa yang sempat membuat masyarakat Indonesia tercengang. Bagaimana tidak, ia tanpa ragu meniup pluit dan mengacungkan kartu kuning besar langsung di hadapan Presiden Jokowi yang kala itu baru menyelesaikan sambutannya dalam perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia yang ke-68. Meski pada akhirnya, ia “dipukul” mundur oleh Paspampres.

Sontak saja aksi di luar dugaan itu seketika menyita perhatian publik. Sebagaimana lazimmnya sebuah aksi, maka akan diikuti reaksi setelahnya. Berbagai macam reaksi, entah itu pro maupun kontra bermunculan bahkan saling berbalasan. Cuitan atau nyinyiran meramaikan dunia nyata dan dunia maya. Bahkan tagar Kartu Kuning Jokowi sempat menjadi trending topic di media sosial Twitter. Ini membuktikan bahwa apa yang dilakukan Ketua BEM UI tersebut bukan perkara receh.

Hanya saja, semakin kesini semakin penulis merasa bahwa ada penggiringan opini yang mendiskreditkan nama besar pergerakan mahasiswa. Banyak pernyataan, umpatan bahkan cacian yang ditujukan kepada mahasiswa khususnya mereka yang bergerak dalam mengkritisi kebijakan penguasa. Hal ini bisa dilihat dari perbincangan di media sosial yang ujung-ujungnya ingin mengatakan bahwa mahasiswa hanya bisa bicara tanpa berbuat, tak punya etika, suka mengkritik namun tak punya solusi, merasa paling benar dan sebagainya.

Banyak orang yang kontra terhadap apa yang dilakukan Zadit Taqwa karena ia dianggap melanggar etika, tak punya sopan santun di hadapan kepala negara, mencoreng almamaternya sendiri, bahkan hanya sekadar mencari sensasi. Saya sendiri memahami mengapa mereka berpendapat demikian. Disini memang telah terjadi “pertempuran” antara mereka yang bergolongan apatis, pragmatis, sekuleris, budak penguasa, dengan mereka yang kritis dan peduli pada nasib bangsa. Kesalahan terbesar mereka adalah ketidakmampuan memahami pesan-pesan yang ingin disampaikan seorang Zadit Taqwa.

Penulis disini memandang apa yang dilakukan Zadit sebagai sesuatu yang positif dan sah-sah saja untuk dilakukan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa penulis baca dari aksi ini. Pertama, Zadit membuktikan bahwa mahasiswa Indonesia tak akan pernah diam pada persoalan bangsanya. Sejak meletusnya “perang” reformasi 1998, mahasiswa semakin yakin bahwa predikat “Agent of Change” tidak sekadar teori di buku-buku sosiologi, namun benar-benar terjadi. Aksi kartu kuning itu menjadi salah satu gebrakan yang berhasil dilakukan untuk membuktikan bahwa Mahasiswa akan selalu ada untuk Indonesia.

Dalam setiap pergerakannya, mahasiswa akan selalu dihadapkan oleh mereka yang kontra terhadap apa yang dilakukan. Jauh sebelum adanya aksi ini, mahasiswa sekarang sering dicap sebagai mahasiswa yang sudah kehilangan idealisme dan jati diri, mengutamakan materi, dimabuk asmara, sibuk dengan IPK, dan sebagainya. Namun aksi Zadit sekali lagi menjadi sirine yang mampu membantah tuduhan-tuduhan semacam itu. Meski pada akhirnya masih saja ada orang yang “kebakaran jenggot” dengan membawa tuduhan-tuduhan seperti yang telah disampaikan pada paragrap empat sebelumnya.

Kedua, Zadit ingin mengingatkan dan membuka mata masyarakat bahwa Indonesia sekarang ini TIDAK sedang baik-baik saja. Berbagai macam permasalahn terjadi bak fenomena gunung es. Tiga tuntutan Zadit dkk, seperti gizi buruk di Asmat, Plt Gubernur dari Polri dan draft Ormawa hanyalah beberapa masalah yang sekarang ini sedang terjadi. Di luar itu, masih banyak masalah lain yang tak kalah urgen, sebut saja LGBT, perzinahan, kriminalisasi ulama, UU Ormas yang berpotensi menjadi senjata “pembunuh”, hingga hilangnya moral para pelajar. Aksi Zadit saya kira bisa menyadarkan masyarakat tentang keadaan bangsa kita sekarang.

Ketiga, aksi tersebut dilakukan di momen yang tepat yaitu memasuki tahun politik. Kartu kuning yang menjadi simbol peringatan tidak saja ditujukan pada presiden, namun juga mereka yang memiliki kuasa di daerah-daerah agar benar-benar bekerja untuk rakyat. Jangan hanya melakukan pembangunan besar-besaran tatkala masa jabatan sudah hampir habis agar seolah-olah telah berhasil melakukan pembangunan. Ataupun bagi mereka yang ingin maju Pilkada yang sengaja melakukan safari ke pesantren-pesantren, ulama, tokoh masyarakat, ataupun blusukan agar mendapat simpati dari masyarakat.

Adapun kontraversi lainnya yang selama ini menjadi senjata untuk menyerang Zadit dan pasukan, saya kira juga perlu dijelaskan. Bukan ingin membela Zadit mati-matian, namun dua hal ini memang perlu diluruskan agar tidak salah dalam memposisikan diri dan memandang suatu masalah. Paling tidak, apa yang saya sampaikan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam bertindak.

Serangan pertama dan utama oleh kelompok kontra adalah aksi Zadit telah melanggar etika sebagai seorang mahasiswa. Masalah etika ini memang menjadi titik sentral perdebatan. Sekadar untuk diketahui kembali bahwa etika menurut KBBI adalah pengetahuan mengenai baik serta buruknya tingkah laku, hak serta keharusan moral; sekumpulan asa atau nila-nilai yang terkait dengan akhlak; nilai tentang benar atau salahnya perbuatan atau tingkah laku yang dianut masyarakat. Menurut Drs. O. P. Simorangkir, etika adalah pandangan manusia terhadap baik dan buruknya tingkah laku manusia. Ada satu keyword utama dari pengertian etika, yaitu baik dan buruk sebuah perilaku. Karena sudah tau pengertiannya, kira-kira apakah yang dilakukan Zadit dengan niat mengkritisi kebijakan pemerintah termasuk pelanggaran etika? Silakan dijawab sendiri saja.

Kalau kita mau menengok sejarah pada pergerakan mahasiswa reformasi 1998, akan kita temui banyak sekali pelanggaran etika yang dilakukan. Menurunkan secara paksa penguasa, melawan polisi dan tentara, menerobos pagar hingga menaiki dan menduduki gedung DPR-MPR. Jika berpatokan dengan yang sekarang, maka mahasiswa dulu juga telah melakukan pelanggaran etika. Namun nanti dulu. Justru dengan hal-hal semacam itulah, reformasi dapat terjadi. Bangsa Indonesia akhirnya terbebas dari keotoriteran penguasa, pembungkaman dan pengekangan menuju keterbukaan seperti sekarang ini. Andai saja mahasiswa dulu menjadikan etika sebagai raja, mungkin tak akan seperti ini keadaan bangsa kita (baca: tak ada reformasi).

Ketika saluran-saluran penyampaian aspirasi sudah tertutup dan kalaupun ada namun saluran itu tak pernah membuahkan hasil, maka mau tak mau harus dilakukan cara penyampaian secara lebih “ekstrem”. Kalau kita cermati lagi, apa yang dilakukan Zadit sebenarnya bukanlah pelanggaran etika berat. Hanya perbedaan persepsi saja. Beda halnya jika Zadit misalnya bertelanjang di depan presiden, atau berteriak dan berucap kasar kepada presiden secara langsung, maka jelas masuk kategori pelanggaran. Tapi nyatanya tak seperti itu. Justru yang dilakukan Zadit adalah cara yang halus, elegan, kreatif dan tepat sasaran.

Kalau mau kita bandingkan dengan demo misalnya, maka pemberian kartu kuning tentu lebih halus dan mampu memberikan efek psikologi yang mendalam. Buktinya aksi itu menjadi perbincangan yang terus mengalir. Orang-orang kemudian semakin menyoroti kasus gizi buruk dan campak di Asmat. Bantuan-bantuan semakin banyak datang. Media semakin menyoroti kasus luar biasa tersebut. Inilah sebenarnya subtansi dari aksi tersebut. Jangan malah sibuk memikirkan etika padahal belum tentu kita juga mampu menjaga etika. Saya prihatin dengan banyaknya warganet yang mencaci dan menghujat Zadit karena ia melanggar etika padahal tanpa sadar mereka sendiri juga melanggar etika dalam berujar. Jika memberi kartu kuning melanggar etika, lalu bagaimana dengan penguasa yang melupakan janji kampanyenya?

Pada intinya adalah bahwa etika harus sesuai dengan konteks yang ada. Tak bisa disamaratakan. Apalagi ini hanya berkaitan dengan cara mengingatkan dan mengoreksi pemerintah yang memang harus dilakukan. Yang perlu diingat dan menjadi konsen kita bersama adalah sebab musabab dari yang dilakukan Zadit. Tak akan pernah ada asap jika tak ada api.

Kedua adalah tudingan yang mengatakan bahwa Zadit tak tau fakta, hanya bisa melakukan aksi konyol dan tak bisa berbuat apa-apa selain mengkritik pemerintah. Disinilah letak terjadinya distorsi berfikir bagi sebagian orang. Perlu saya tegaskan bahwa harus dibedakan antara kedudukan dan fungsi sebuah jabatan. Seorang presiden dengan mahasiswa ibarat langit dan bumi. Tidak bisa disamakan dari segi fungsi dan kewenangan. Wajar jika Zadit memberikan kritik kepada pemerintah karena salah satu peran mahasiswa adalah menjadi kontrol pemerintah.

Presiden memiliki dua tugas yang dibedakan menjadi tugas sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Tugas Presiden sebagai Kepala Negara tercantum dalam peraturan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45), diantaranya: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat 1); Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (Pasal 34 Ayat 2); Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 Ayat 3).

Sedangkan tugas presiden sebagai kepala pemerintahan diantaranya: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat 1); Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2); Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (Pasal 20 Ayat 4); Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I Ayat 4); Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2); Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 31 Ayat 3)

Itulah gambaran beberapa tugas seorang presiden. Sehingga yang terjadi seperti KLB Asmat, Plt Gubernur dan sebagainya, sudah merupakan tanggung jawab presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan dibantu oleh para menteri dan lembaga-lembaga lainnya. Sedangkan mahasiswa tidak memiliki wewenang semisal menyusun RAPBN untuk pembangunan, membuat undang-undang, mengambil keputusan dan sebagainya. Jadi wajar saja jika mahasiswa termasuk Zadit memberikan kritik kepada pemerintah selaku pemegang mandat dari rakyat.

Selain itu, jika kita memahami tugas-tugas tersebut, maka akan terdengar janggal ketika presiden mengatakan ingin mengirim Zadit dkk ke Asmat agar bisa melihat langsung keadaan disana. Pernyataan ini kemudian menimbulkan dua tafsir. Yang pertama seolah-olah menandakan bahwa pemerintah sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa sehingga mengharap bantuan mahasiswa. Memang sudah menjadi tugas mahasiswa untuk membantu masyarakat sebagaimana tertuang dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Hanya saja, pernyataan presiden tersebut kurang enak didengar. Kalaupun mau melibatkan mahasiswa, harusnya berupa kalimat persuasif yang baik, bukan malah seperti kalimat “tantangan”.

Kedua, pemerintah terkesan anti kritik. Menyuruh Zadit dkk ke Asmat seperti ditujukan agar mereka diam dan menerima keadaan disana sehingga tak lagi mengkritik pemerintah. Semua orang juga sudah tahu bahwa Papua pada umumnya memiliki medan yang berat karena didominasi pegunungan dan hutan. Namun apakah harus menyerah pada keadaan?. Hal ini tentunya tidak bisa dianggap remeh karena berkaitan dengan nyawa orang banyak.

Selama ini kita tahu bahwa pemerintah di bawah komando Pak Jokowi sangat getol membangun Papua. Dibeberapa kesempatan, presiden sering menyampaikan capaian-capaiannya dalam membangun Papua. Kerja keras itu memang harus diapresiasi. Akan tetapi kasus luar biasa di Asmat semakin menyadarkan kita bahwa pemerintah tidak boleh merasa hebat dan cukup hanya dengan pencapaian itu saja. Pemerintah harus terus membangun Papua hingga bisa setara dengan daerah lainnya. Disinilah aksi Zadit berusaha mengingatkan itu semua. Apa salahnya? Bukankah kartu kuning sendiri hanyalah simbol dari sebuah peringatan, bukan bermaksud “mengusir pemain dari lapangan?” Inilah yang kemudian disebut sebagai kegagalan logika dalam memahami pesan Zadit Taqwa.

Itulah beberapa pandangan saya terhadap aksi Zadit Taqwa yang saya anggap sebagai sesuatu yang baik. Jangan sampai hujatan, cacian hingga nyinyiran yang dialamatkan kepada Ketua BEM UI ini bukannya menjadikan mahasiswa lainnya menjadi kritis namun malah apatis dan pragmatis. Apabila itu terjadi, maka nasib bangsa akan semakin tak menentu. Saya pribadi yakin, bahwa suara mahasiswa tak akan pernah mati. Tanah ini sudah banyak dialiri oleh darah para pemuda. Hidup Mahasiswa!!!

Wallahu a’lam bisshawab

sumber gambar : Tribunnews.com