Dulu-tapi
tidak terlalu lama, dalam sebuah forum diskusi, seorang perempuan bertanya. Ia
menanyakan bagaimana jika ada seseorang yang sangat sulit diajak mengkaji Islam
dengan alasan klasik; SIBUK. Sibuk di sini bermacam-macam. Subjeknya adalah
mahasiswa, maka bisa kita bayangkan kesibukan itu bisa berupa tugas yang
menumpuk, kerja kelompok, kegiatan organisasi-jika dia seorang yang aktif di
organisasi, buku-buku perkuliahan yang harus ia baca dan pahami. Atau kalau
kita sedikit berprasangka buruk, kesibukannya juga meliputi bermain game,
nonton drama korea atau sinetron, dan mungkin pula jalan-jalan sambil
jepret-jepret dan update status.
Saat
itu kebetulan saya bertindak sebagai moderator yang memandu acara termasuk
memandu sesi diskusi dan pertanyaan. Setelah minta izin dengan narasumber
utama, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan yang membuat saya gregetan
tersebut.
Pertanyaan
itu saya jawab pula dengan pertanyaan. Saya katakan, “kalau tidak bisa mengkaji
Islam karena alasan sibuk, pertanyaan saya, apakah orang yang sekarang mengkaji
Islam adalah orang yang tidak sibuk?” begitu kata saya. Tak ada yang menjawab.
Beberapa peserta laki-laki terlihat menganggung-angguk saja. Entah karena paham
atau bahkan sebaliknya.
Pernyataan
semacam itu sebenarnya lumrah terjadi. Sayapun beberapa kali pernah
merasakannya. Bukan lagi dalam bentuk pernyataan, tapi sudah sampai pada
perbuatan. Dapat dipahami pula, bahwa mahasiswa dengan segala macam pandangan
hidupnya selalu ada kecenderungan untuk beralasan itu. Tak terkecuali diri saya
sendiri, bisa saja itu terjadi.
Bicara
mengenai kesibukan tadi, perlu kita dudukkan terlebih dahulu inti
permasalahannya. Pada hakikatnya, setiap orang pasti memiliki banyak urusan
yang harus diselesaikan, yang itu kemudian membuatnya banyak kesibukan. Kita
studi kasus saja. Dalam kasus mahasiswa-seperti saya singgung di paragrap
sebelumnya, bahwa kita memiliki banyak sekali kesibukan. Ada tugas perkuliahan
yang harus kita kerjakan. Jumlah dan tingkat kesulitan dari tugas tersebut bisa
membuat kita harus memeras otak lebih keras dan tentunya lebih banyak waktu
yang diperlukan. Belum lagi bagi yang sudah semester tua, bisa kita bayangkan
sendiri bagaimana tugas-tugas itu akan menjadi layaknya hantu yang selalu
membayangi setiap langkah kaki.
Apakah
kesibukan berhenti sampai di situ? Tentu belum. Masih ada kesibukan lain semisal
keperluan pribadi dan kos-kosan. Dalam hal ini sebagai mahasiswa perantauan,
semua harus dikerjakan secara mandiri, bukan?. Mulai dari memasak, mencuci
pakaian & sepatu, mencuci piring, bersih-bersih kamar, mengisi galon,
bahkan sampai membersihkan kamar mandi-kalau di tempat tersebut ada aturan
piket semacam itu. Ada pula tuntutan dan rasa rindu untuk bisa pulang ke
kampung halaman menjenguk orang tua. Kalau sudah seperti itu, jangankan mau
berangkat ke majelis ilmu, menjaga kamar agar tidak seperti kapal perang yang
kalah perang saja amat sulit untuk dibayangkan.
Umumnya
begitulah wujud dari istilah “sibuk” itu sendiri. Ya, seputar kuliah dan kos.
Namun, bagi mereka yang aktif dalam organisasi, kesibukan masih berlanjut.
Yuhuu.
Kesibukan
dalam organisasi tentu beragam bentuknya tergantung jabatan apa yang sedang
diemban. Hal ini amatlah wajar karena hierarki jabatan memberikan jobdesc dan wewenang yang berbeda di
tiap tingkatannya. Semakin ke atas, tugas akan semakin banyak dan kompleks.
Perbedaan ini juga masih terlihat pada jenis organisasi tersebut. Antara
komunitas kepenulisan akan berbeda beban tugasnya dengan komunitas yang
bergerak di bidang sosial.
Dalam
organisasi, yang sering terjadi dan dialami semua pengurus adalah rapat. Rapat
di sini bermacam-macam tergantung keperluan. Bisa rapat program kerja, rapat
divisi, rapat kepanitiaan, rapat evaluasi, dan rapat-rapat lainnya. Proses
rapat juga tidak selalu berjalan lancar. Bisa jadi harus ada drama kemoloran
waktu mulai, perdebatan dengan air mata berderai-derai, saling menjatuhkan,
hingga saling menasihati. Tentu saja, waktu, tenaga, dan fikiran cukup terkuras
di sini. Begitupula dengan jobdesc
yang diberikan dan harus dikerjakan.
Kurang
lebih seperti itu kesibukan yang mengelilingi kita (mahasiswa). Menyelesaikan
semua itu tentu tergantung cara yang kita terapkan, termasuk bagaimana membagi
dan mengalokasikan waktu. Ada yang mampu menyelesaikan dengan baik dan tepat
waktu, namun tak sedikit yang keteteran dengan semua itu. Tugas-tugas tersebut
jangan kira hanya datang sebulan atau seminggu sekali. Bisa jadi, justru setiap
hari.
Bicara
tentang mahasiswa, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari yang namanya
kewajiban. Mahasiswa wajib belajar dengan baik, mengerjakan tugas yang
diberikan dosen, tugas organisasi jika ada, dan sebagainya. Memang sudah
seharusnya begitu tatkala menjadi seorang mahasiswa. Dosen saya sendiri pernah
mengatakan, justru aneh jika seorang mahasiswa tidak mendapat banyak tugas.
Kalau tidak mau dapat banyak tugas, kembali ke SD saja, mau?
Dari
sini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa mahasiswa umumnya pasti memiliki banyak
kesibukan dalam hal perkuliahan. Juga dalam hal-hal lainnya seperti disinggung
sebelumnya. Lalu pertanyaannya, kalau sudah begitu kapan bisa mengkaji atau
belajar Islam?
Tentu,
jika kita terus-terusan menjadikan kesibukan sebagai tameng untuk tidak
mengkaji Islam, sudah pasti, sampai lulus kuliah kita tidak akan bisa mengkaji
Islam. Karena kesibukan akan datang silih berganti. Berharap mengkaji Islam
hanya jika ada waktu kosong, saya kira sulit mencari momen tersebut. Padahal,
kuliah dan mengkaji Islam adalah dua kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
“Kalau
belajar Islamnya setelah lulus kuliah saja, masih bisa kan?”
“Iya
memang bisa. Tapi apakah Anda yakin bahwa besok Anda masih diberi umur. Kalau mati
muda?”
SKIP
dah.
Lantas,
bagaimana seharusnya mahasiswa mensiasati itu semua? Yang utama adalah mengubah
cara pandang terlebih dahulu. Pemahaman yang harus kita tanamkan adalah, “jika
saya memiliki banyak kesibukan, maka mengkaji Islam harus menjadi bagian yang
membuat saya sibuk.” Bukan sebaliknya, “saya akan mengkaji Islam jika kuliah
saya sedang santai dan ada banyak waktu luang.” Jadikan mengkaji Islam sebagai
aktivitas prioritas, bukan sampingan belaka.
Di
samping itu, perlu ada manajemen waktu yang baik. Ini sangat penting sekaligus
menjadi kunci agar di tengah padatnya tugas dan kewajiban sebagai seorang mahasiswa,
namun kita masih bisa memberikan porsi untuk belajar Islam. Biasakan membuat
perhitungan kapan sebuah tugas atau kewajiban itu harus diselesaikan agar tidak
mengganggu waktu yang lain, mengurangi aktivitas yang sama sekali tidak perlu
dan tidak bermanfaat, dan jangan suka menyia-nyiakan waktu.
Masih
banyak cara sebenarnya bagaimana menggunakan waktu dengan baik. Insya Allah
akan saya bahas di tulisan saya selanjutnya. Itupun, kalau saya sedang tidak
SIBUK. Wallahu al’lam bisshawab.
sumber gambar : youthmanual.com