Beberapa waktu yang lalu, kita
kembali dikejutkan, dihebohkan sekaligus dibuat miris oleh seorang murid
Sekolah Menengah Pertama di Pontianak yang tega memukul gurunya sendiri dengan
kursi. Tak hanya itu, akibat kesal ditegur karena bermain handphone di dalam kelas, ia bahkan melemparkan HP-nya kepada guru
yang menegurnya. Alih-alih menuruti gurunya sebagai seorang siswa, anak ini
justru melakukan perbuatan yang “biadab”. Sang guru yang mendapat perlakuan
kasar tersebut harus menahan luka dibeberapa bagian tubuh dan menjalani
perawatan di rumah sakit. Hingga kemudian pihak keluarga dari guru tersebut
melaporkan masalah ini ke pihak yang berwajib.
Tak cukup dengan satu kasus pilu,
masih ada sederet kasus serupa lainnya. Sebut saja penganiayaan guru SMA di
Sampang, Jawa Timur oleh anak muridnya sendiri yang berujung kematian sang guru
seni tersebut. Penyebabnya pun terbilang sepele. Hanya karena tak suka ditegur
gurunya akibat tidak menuruti perintah, pelaku dengan tega memukul gurunya sampai
tersungkur hingga akhirnya meninggal dunia. Kasus ini pun sempat menghebohkan
publik sekaligus mengakumulasi banyak tanda tanya; apa yang sesungguhnya
terjadi dengan anak-anak saat ini?
Bagi generasi sebelum “Kids Zaman
Now”-sebutan untuk anak-anak zaman milenial- taat terhadap guru adalah sebuah
kewajiban yang terus dijalankan. Sehebat apapun, sekaya apapun bahkan senakal
apapun, seorang siswa tetap menaruh hormat yang tinggi terhadap gurunya.
Hukuman-hukuman seperti berdiri di depan kelas, dijewer, dijemur bahkan dipukul
dengan penggaris hanya karena kuku panjang dan kotor, adalah pemandangan yang
lumrah terjadi. Bahkan para orang tua zaman dulu sebelum menitipkan anaknya
akan menemui para guru dan mengatakan “Pak, Bu, kalau anak saya ini nakal, hukum
saja dia”.
Sekarang ini semua terasa berbeda. Sebagian dari siswa di sekolah terlihat seperti orang yang lemah, cengeng, dan mudah marah. Sedikit saja mendapat perlakuan tidak nyaman dari gurunya, maka perbuatan-perbuatan kasar yang akhirnya dipertontonkan. Kejadian pilu itu akhirnya viral di dunia maya, entah apakah itu akan menginspirasi yang lainnya untuk bertindak sama atau tidak. Tak bisa disangkal pula bahwa sebagian orang tua, mirisnya, bahkan ada yang menganiaya gurunya hanya karena anaknya mengadu. Apakah mereka tidak menyadari betapa besar jasa guru kepada anaknya?
Di sekolah, idealnya para siswa tak hanya diajarkan teori-teori keilmuwan, tetapi juga tata cara menjalani kehidupan. Sekolah ibarat menjadi tempat pelatihan dan pembiasaan para siswa untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dan membangun kemampuan berfikir yang baik. Namun lagi-lagi, penganiayaan guru oleh muridnya membuat kita mau tak mau berprasangka negatif kepada dunia pendidikan saat ini. Apakah para guru sekarang yang tidak lagi bersahabat dengan siswanya?, apakah pengaruh lingkungan yang buruk? atau bahkan apakah sistem pendidikan kita yang bobrok?.
Di sekolah, idealnya para siswa tak hanya diajarkan teori-teori keilmuwan, tetapi juga tata cara menjalani kehidupan. Sekolah ibarat menjadi tempat pelatihan dan pembiasaan para siswa untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dan membangun kemampuan berfikir yang baik. Namun lagi-lagi, penganiayaan guru oleh muridnya membuat kita mau tak mau berprasangka negatif kepada dunia pendidikan saat ini. Apakah para guru sekarang yang tidak lagi bersahabat dengan siswanya?, apakah pengaruh lingkungan yang buruk? atau bahkan apakah sistem pendidikan kita yang bobrok?.
Ada banyak faktor sebenarnya yang
menyebabkan masalah-masalah seperti ini terjadi. Pengaruh teknologi yang
semakin canggih membuat sebagian besar anak diantaranya menjadi pecandu game
dan internet. Parahnya, pengawasan orang tua terhadap konsumsi media anak
akhirnya membuat mereka terjerumus ke jurang yang dalam. Anak-anak yang
kecanduan game lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya hingga
interaksinya dengan orang lain semakin berkurang. Hal itu berdampak pada
kurangnya kedekatan dan kepekaan sosial. Belum lagi, hubungan anak dan orang
tua juga bisa menjadi renggang, terlebih ketika ayah dan ibunya sibuk bekerja.
Begitupun dengan internet yang
selama ini memang menyediakan berbagai macam konten yang dengan mudah dapat diakses
kapanpun dan dimanapun. Jika mereka menggunakan internet untuk hal yang baik,
maka itu merupakan sesuatu yang positif. Begitupun sebaliknya. Konten-konten
negatif seperti tawuran, adegan kekerasan hingga pornografi akan membuat
pemikiran anak-anak menjadi kacau.
Tak hanya internet, konten siaran
pada televisi juga menjadi “biang kerok” selanjutnya. Ada banyak sekali
adegan-adegan berpacaran mesra, gaya hidup menyimpang, mengumbar aurat serta siaran-siaran yang tak mendidik lainnya. Semua itu
dipertontonkan dengan mudahnya. Padahal tontonan akan menjadi
tuntutan para penikmatnya, apalagi jika dikonsumsi setiap hari bahkan setiap
saat. Jadi tidak perlu heran lagi jika ada siswa SD yang sudah berpacaran atau
para pelajar yang mengkonsumsi minuman keras dan hamil di luar nikah.
Jika sudah seperti ini, peran
orang tua tentulah menjadi nomor satu untuk membangun benteng yang kokoh agar
anak tidak mudah terbawa arus kesesatan. Antara anak dan orang tua harus
memiliki ikatan yang kuat serta interaksi yang harmonis. Jangan sampai anak
merasa jauh dari orang tuanya sehingga ia tak tahu harus berbuat apa jika ada
masalah. Hendaknya para orang tua lebih khusus para ibu untuk tidak mementingkan
ego dan kepentingan pribadi saja, tapi pandanglah anak sebagai harta yang tak
ternilai. Itulah mengapa seorang perempuan dituntut menjadi perempuan yang
cerdas karena ia punya tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anaknya.
Selain peran orang tua, negara
juga tak boleh lepas tangan dengan situasi ini. Negara memiliki peran vital
untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang membangun jiwa manusia, bukan
sebaliknya. Jika kita mau menengok pendidikan kita, maka lihatlah apa yang
terjadi sekarang. Bukan saja masalah fasilitas sekolah yang minim, tapi
bagaimana transfer nilai-nilai kemanusian dan kehidupan yang seolah ingin
digerus perlahan-lahan. Pelajaran-pelajaran agama misalnya, justru hanya
sebagai pelengkap saja dan seperti ingin dipisahkan. Padahal dari pelajaran
seperti itulah, para siswa sedikit banyaknya menerima ilmu yang bisa langsung
dipraktekkan dalam interaksi sehari-hari, baik di sekolah, rumah ataupun
masyarakat.
Di dalam ajaran Islam, tidak saja
diatur mengenai ritual ibadah semata, tetapi juga bermuatan akhlak yang
terpuji, sopan santun, hingga hubungan antar manusia beserta cara dan
aturannya. Hanya saja, selama ini pelajaran agama (Islam) mendapat porsi kecil
dalam pendidikan kita. Ilmu agama seperti dieksklusifkan untuk sekolah-sekolah
agama seperti Tsanawiyah dan Aliyah saja. Sejatinya, semua manusia perlu ajaran
agama yang murni sehingga dari sana terbentuklah pola fikir dan pola sikap yang
baik dan benar.
Perlu diingat pula bahwa kita
tidak kemudian menafikkan ilmu-ilmu pengetahuan berbasis duniawi. Hanya saja,
dalam konteks sekarang ini telah terjadi ketimpangan yang terlalu jauh antara
keduanya sehingga cenderung menghasilkan generasi yang cerdas namun tak punya
landasan pengetahuan agama yang kuat. Pelajaran agama tidak cukup hanya
diajarkan orang tua atau para ustadz, tetapi harusnya sudah menjadi konsumsi
wajib bagi setiap generasi muslim di Indonesia ini melalui penyelenggaraan pendidikan. Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber gambar: tribunstyle.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar