Kids Zaman Apa - Podium.com

Jumat, 16 Maret 2018

Kids Zaman Apa


Beberapa waktu yang lalu, kita kembali dikejutkan, dihebohkan sekaligus dibuat miris oleh seorang murid Sekolah Menengah Pertama di Pontianak yang tega memukul gurunya sendiri dengan kursi. Tak hanya itu, akibat kesal ditegur karena bermain handphone di dalam kelas, ia bahkan melemparkan HP-nya kepada guru yang menegurnya. Alih-alih menuruti gurunya sebagai seorang siswa, anak ini justru melakukan perbuatan yang “biadab”. Sang guru yang mendapat perlakuan kasar tersebut harus menahan luka dibeberapa bagian tubuh dan menjalani perawatan di rumah sakit. Hingga kemudian pihak keluarga dari guru tersebut melaporkan masalah ini ke pihak yang berwajib.

Tak cukup dengan satu kasus pilu, masih ada sederet kasus serupa lainnya. Sebut saja penganiayaan guru SMA di Sampang, Jawa Timur oleh anak muridnya sendiri yang berujung kematian sang guru seni tersebut. Penyebabnya pun terbilang sepele. Hanya karena tak suka ditegur gurunya akibat tidak menuruti perintah, pelaku dengan tega memukul gurunya sampai tersungkur hingga akhirnya meninggal dunia. Kasus ini pun sempat menghebohkan publik sekaligus mengakumulasi banyak tanda tanya; apa yang sesungguhnya terjadi dengan anak-anak saat ini?

Bagi generasi sebelum “Kids Zaman Now”-sebutan untuk anak-anak zaman milenial- taat terhadap guru adalah sebuah kewajiban yang terus dijalankan. Sehebat apapun, sekaya apapun bahkan senakal apapun, seorang siswa tetap menaruh hormat yang tinggi terhadap gurunya. Hukuman-hukuman seperti berdiri di depan kelas, dijewer, dijemur bahkan dipukul dengan penggaris hanya karena kuku panjang dan kotor, adalah pemandangan yang lumrah terjadi. Bahkan para orang tua zaman dulu sebelum menitipkan anaknya akan menemui para guru dan mengatakan “Pak, Bu, kalau anak saya ini nakal, hukum saja dia”.

Sekarang ini semua terasa berbeda. Sebagian dari siswa di sekolah terlihat seperti orang yang lemah, cengeng, dan mudah marah. Sedikit saja mendapat perlakuan tidak nyaman dari gurunya, maka perbuatan-perbuatan kasar yang akhirnya dipertontonkan. Kejadian pilu itu akhirnya viral di dunia maya, entah apakah itu akan menginspirasi yang lainnya untuk bertindak sama atau tidak. Tak bisa disangkal pula bahwa sebagian orang tua, mirisnya, bahkan ada yang menganiaya gurunya hanya karena anaknya mengadu. Apakah mereka tidak menyadari betapa besar jasa guru kepada anaknya?

Di sekolah, idealnya para siswa tak hanya diajarkan teori-teori keilmuwan, tetapi juga tata cara menjalani kehidupan. Sekolah ibarat menjadi tempat pelatihan dan pembiasaan para siswa untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dan membangun kemampuan berfikir yang baik. Namun lagi-lagi, penganiayaan guru oleh muridnya membuat kita mau tak mau berprasangka negatif kepada dunia pendidikan saat ini. Apakah para guru sekarang yang tidak lagi bersahabat dengan siswanya?, apakah pengaruh lingkungan yang buruk? atau bahkan apakah sistem pendidikan kita yang bobrok?.

Ada banyak faktor sebenarnya yang menyebabkan masalah-masalah seperti ini terjadi. Pengaruh teknologi yang semakin canggih membuat sebagian besar anak diantaranya menjadi pecandu game dan internet. Parahnya, pengawasan orang tua terhadap konsumsi media anak akhirnya membuat mereka terjerumus ke jurang yang dalam. Anak-anak yang kecanduan game lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawainya hingga interaksinya dengan orang lain semakin berkurang. Hal itu berdampak pada kurangnya kedekatan dan kepekaan sosial. Belum lagi, hubungan anak dan orang tua juga bisa menjadi renggang, terlebih ketika ayah dan ibunya sibuk bekerja.

Begitupun dengan internet yang selama ini memang menyediakan berbagai macam konten yang dengan mudah dapat diakses kapanpun dan dimanapun. Jika mereka menggunakan internet untuk hal yang baik, maka itu merupakan sesuatu yang positif. Begitupun sebaliknya. Konten-konten negatif seperti tawuran, adegan kekerasan hingga pornografi akan membuat pemikiran anak-anak menjadi kacau.

Tak hanya internet, konten siaran pada televisi juga menjadi “biang kerok” selanjutnya. Ada banyak sekali adegan-adegan berpacaran mesra, gaya hidup menyimpang, mengumbar aurat serta siaran-siaran yang tak mendidik lainnya. Semua itu dipertontonkan dengan mudahnya. Padahal tontonan akan menjadi tuntutan para penikmatnya, apalagi jika dikonsumsi setiap hari bahkan setiap saat. Jadi tidak perlu heran lagi jika ada siswa SD yang sudah berpacaran atau para pelajar yang mengkonsumsi minuman keras dan hamil di luar nikah.

Jika sudah seperti ini, peran orang tua tentulah menjadi nomor satu untuk membangun benteng yang kokoh agar anak tidak mudah terbawa arus kesesatan. Antara anak dan orang tua harus memiliki ikatan yang kuat serta interaksi yang harmonis. Jangan sampai anak merasa jauh dari orang tuanya sehingga ia tak tahu harus berbuat apa jika ada masalah. Hendaknya para orang tua lebih khusus para ibu untuk tidak mementingkan ego dan kepentingan pribadi saja, tapi pandanglah anak sebagai harta yang tak ternilai. Itulah mengapa seorang perempuan dituntut menjadi perempuan yang cerdas karena ia punya tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anaknya.

Selain peran orang tua, negara juga tak boleh lepas tangan dengan situasi ini. Negara memiliki peran vital untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang membangun jiwa manusia, bukan sebaliknya. Jika kita mau menengok pendidikan kita, maka lihatlah apa yang terjadi sekarang. Bukan saja masalah fasilitas sekolah yang minim, tapi bagaimana transfer nilai-nilai kemanusian dan kehidupan yang seolah ingin digerus perlahan-lahan. Pelajaran-pelajaran agama misalnya, justru hanya sebagai pelengkap saja dan seperti ingin dipisahkan. Padahal dari pelajaran seperti itulah, para siswa sedikit banyaknya menerima ilmu yang bisa langsung dipraktekkan dalam interaksi sehari-hari, baik di sekolah, rumah ataupun masyarakat.

Di dalam ajaran Islam, tidak saja diatur mengenai ritual ibadah semata, tetapi juga bermuatan akhlak yang terpuji, sopan santun, hingga hubungan antar manusia beserta cara dan aturannya. Hanya saja, selama ini pelajaran agama (Islam) mendapat porsi kecil dalam pendidikan kita. Ilmu agama seperti dieksklusifkan untuk sekolah-sekolah agama seperti Tsanawiyah dan Aliyah saja. Sejatinya, semua manusia perlu ajaran agama yang murni sehingga dari sana terbentuklah pola fikir dan pola sikap yang baik dan benar.

Perlu diingat pula bahwa kita tidak kemudian menafikkan ilmu-ilmu pengetahuan berbasis duniawi. Hanya saja, dalam konteks sekarang ini telah terjadi ketimpangan yang terlalu jauh antara keduanya sehingga cenderung menghasilkan generasi yang cerdas namun tak punya landasan pengetahuan agama yang kuat. Pelajaran agama tidak cukup hanya diajarkan orang tua atau para ustadz, tetapi harusnya sudah menjadi konsumsi wajib bagi setiap generasi muslim di Indonesia ini melalui penyelenggaraan pendidikan. Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber gambar: tribunstyle.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar