Mencari Arti Pribumi - Podium.com

Senin, 23 Oktober 2017

Mencari Arti Pribumi



Tanggal 16 Oktober 2017 merupakan hari bersejarah bagi sebuah kota yang seringkali disebut sebagai miniatur Indonesia. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode lima tahun ke depan setelah melalui proses demokrasi yang cukup “melelahkan” hingga akhirnya dipilih secara langsung oleh masyarakat.

Terpilihnya Anies dan Sandi tentu tak lepas dari segudang intrik politik yang menerjang bak gelombang sampai tarik menarik opini di tengah-tengah masyarakat. Menjelang pemilihan berlangsung, lebih dulu masyarakat Indonesia digemparkan dengan pernyataan “nyeleneh” calon petahana yang kemudian dianggap sebagai sebuah bentuk penistaan agama.

Dinamika politik terus berlanjut dan semakin mencuri perhatian masyarakat bahkan dunia, ketika gelombang demonstrasi dari Umat Islam terus bermunculan. Hal ini disinyalir diakibatkan karena lambannya polisi menangani kasus sensitif tersebut dan adanya kesan kuat melindungi tersangka. Meski di ujung drama, yang bersangkutan akhirnya dijebloskan ke penjara.

Meski seremoni pelantikan sudah berakhir, akan tetapi opini demi opini terus “bergentayangan” di masyarakat. Yang baru-baru ini hangat dan mengemuka yakni mengenai kontroversi pidato Anies Baswedan di Balai Kota yang memuat kata-kata “Pribumi”. Pernyataan itu sontak menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang khawatir jika pidato tersebut akan mengingatkan kembali sejarah kelam bangsa dan juga memecah belah persatuan.

Situasi tak berhenti sampai disana. Sejumlah kalangan masyarakat melaporkan Anies Baswedan ke pihak kepolisian karena dinilai sudah melanggar UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras & etnis. Meski sudah ada klarifikasi dari orang yang bersangkutan, namun sepertinya hal itu masih belum bisa meredam situasi yang ada.

Tak hanya di dunia nyata, para netizen juga sudah bergerak dengan saling lempar pendapat sehingga membuat isu ini semakin berlarut-larut. Ungkapan “Saya Pribumi” mulai bergema baik dalam bentuk status, gambar dan sebagainya. Penulis melihat situasi ini sebagai gejala yang tidak mengenakkan.

Jika kita membuka KBBI, maka akan kita dapati bahwa Pribumi mengandung arti penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan bila dilihat dari sisi sejarah terutama pada era kolonialisme, kata Pribumi digunakan untuk membedakan penduduk asli Indonesia dengan para pendatang saat itu.

Memang cukup menarik ketika kita menyimak pidato Pak Anies yang mana pidatonya seolah berisi makna-makna tersembunyi dan hanya bisa dipahami oleh segelintir kalangan saja. Pertama, Pak Anies banyak menggunakan istilah-istilah bahasa daerah dalam pidatonya. Hal ini dibaca janggal bagi sebagian orang, sebab Pak Anies terpilih sebagai gubernur bukan sebagai presiden. Dalam konteks sebagai presiden, istilah-istilah tersebut wajar dilontarkan untuk menyatukan seluruh eleman bangsa karena Indonesia adalah negara yang beranakeragam.

Tak sampai disitu. Dengan adanya istilah-istilah tersebut, pidato Pak Anies seperti disampaikan bukan untuk masyarakat Jakarta saja tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang mendukungnya. Sinyal ini kemudian mulai dihubung-hubungkan dengan aksi demonstrasi yang memang ketika itu melibatkan tak hanya warga Jakarta tetapi juga di luar Jakarta. Akan tetapi sebenarnya, jika kita mengacu lagi pada Jakarta yang disebut sebagai miniatur Indonesia, bukankah hal ini wajar saja?.

Kedua, Pak Anies banyak mengangkat mengenai sejarah era kolonialisme hingga akhirnya terlontarlah kata “Pribumi”. Tak diketahui apa maksud sebenarnya dari Pak Anies yang membongkar kembali sejarah masa lalu tersebut. Sama halnya seperti penggunaan istilah bahasa daerah tadi, pengangkatan sejarah ini juga kembali dihubungkan dengan reklamasi yang dianggap sebagian masyarakat sebagai simbol kolonialisme abad modern.

Yang ketiga, penggunaan kata “Pribumi” dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap rakyat asing yang telah lama “bersemayam” khususnya di Jakarta. Parahnya, makna itu dikerucutkan sebagai bentuk penolakan terhadap pendatang Tiongkok yang sebelumnya disebut-sebut telah banyak memasuki wilayah Indonesia. Tak ketinggalan, isu kebangkitan paham Komunis juga dicampur adukkan dengan masalah ini sehingga semakin kompleks.

Penulis berpandangan bahwa penggunaan kata “Pribumi” pada pidato Pak Anies harusnya tak perlu dipersoalkan secara berlebihan. Rasa-rasanya semua itu hanya membuang waktu dan fikiran saja. Toh setelah pidato Pak Anies berakhir, nyatanya tak ada perpecahan bangsa yang terjadi. Penulis lebih khawatir bahwa perpecahan bukan disebabkan karena penggunaan kata “Pribumi” akan tetapi karena timbulnya rasa saling curiga di antara kita.

Jikalau penggunaan kata “Pribumi” tersebut memang benar mengandung maksud-maksud tertentu, maka biarlah itu menjadi urusan dan tanggung jawab dari Pak Anies sendiri. Yang terpenting, kita terutama warga Jakarta harus terus mengawal setiap langkah gubernur baru tersebut dan mengingatkan akan janji-janji ambisius yang dulu pernah dilontarkan semasa kampanye. Terlebih lagi, Jakarta adalah cerminan dari negeri ini.

Dalam pandangan agama Islam sendiri, perbedaan khususnya dalam hal kesukuan(baik itu suku pendatang atau pribumi) adalah hal yang lumrah terjadi. Salah satu ayat bahkan mengatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mengenal. Jika kita berpegang pada ayat ini, harusnya tak perlu ada rasa saling curiga dengan orang yang berbeda.

Selain itu, dalam Islam dikenal sebuah ikatan yang sangat kuat dibanding dengan ikatan apapun jua. Ikatan itu adalah Ukhuwah Islamiyah. Selagi orang tersebut berprinsip “Laa ilahaillallah Muhammadar rasulullah” maka ia adalah saudara bagi muslim lainnya. Tak boleh ada perbedaan sikap kepada mereka kecuali ada hal-hal yang mengharuskan mereka menerima sikap yang berbeda.

Meski ikatan ini hanya berlaku kuat bagi kaum Muslim, bukan berarti masyarakat non muslim harus dibenci atau dimusuhi. Islam tak pernah mengajarkan untuk menyakiti orang lain bahkan kepada seorang Yahudi sekalipun. Hanya saja ada beberapa kriteria nantinya yang kemudian membuat seseorang itu boleh dimusuhi, seperti misalnya ia berusaha menghalang-halangi dan memerangi dakwah Islam. Selagi orang tersebut tak melakukan pelanggaran, siapapun ia maka wajib untuk dihormati dan dijaga. Itulah indah Islam memandang sebuah perbedaan.

Sejarah juga telah membuktikan, bagaimana kaum pribumi dan non pribumi dapat saling berdampingan. Salah satu contohnya dapat terlihat ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah bersama kaum Muhajirin. Sesampainya di Madinah, mereka langsung disambut dengan suka cita oleh kaum Ansar (pribumi). Disini, sama sekali tak ada perbedaan apalagi sentimen negatif terhadap kaum pendatang. Semua dapat melebur dalam persatuan dan rasa kekeluargaan. Bahkan, kaum Anshar bersedia untuk dipersaudarakan dengan kaum Muhajirin. Kaum Anshar ataupun Muhajirin, benar-benar telah memahami dan memaknai sebuah ikatan yang dilandasi keimanan.

Nabi Muhammad SAW sebagai salah seorang pendatang di Madinah, juga mengajarkan kita adab sebagai seorang pendatang. Nabi Muhammad SAW senantiasa menebarkan kebaikan kepada masyarakat asli disana. Banyak dari masyarakat terbantu dengan kedatangan Nabi dan Kaum Muhajirin khususnya dalam hal Keislaman. Sehingga kemudian yang terjadi adalah terjalinnya hubungan yang harmonis. Pepatah “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” memang benar adanya.

Pada hakikatnya, pribumi ataupun non pribumi, bukanlah sebuah patokan untuk menilai seseorang. Semua manusia harus diperlakukan dengan sama, sebab semuanya berasal dari nenek moyang dan pencipta yang sama. Allah SWT telah menciptakan kita dalam perbedaan. Jika kemudian kita merasa tempramen dengan orang yang berbeda dengan kita tanpa ada alasan yang kuat dan jelas, jangan-jangan hal itu sebagai bentuk ketidakterimaan kita terhadap takdir Allah. Wallahu’alam bisshawab.

sumber gambar: internet (chirpstory.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar