Tanggal 16
Oktober 2017 merupakan hari bersejarah bagi sebuah kota yang seringkali disebut
sebagai miniatur Indonesia. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi dilantik
menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode lima tahun ke
depan setelah melalui proses demokrasi yang cukup “melelahkan” hingga akhirnya
dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Terpilihnya
Anies dan Sandi tentu tak lepas dari segudang intrik politik yang menerjang bak
gelombang sampai tarik menarik opini di tengah-tengah masyarakat. Menjelang
pemilihan berlangsung, lebih dulu masyarakat Indonesia digemparkan dengan pernyataan
“nyeleneh” calon petahana yang kemudian dianggap sebagai sebuah bentuk
penistaan agama.
Dinamika politik
terus berlanjut dan semakin mencuri perhatian masyarakat bahkan dunia, ketika
gelombang demonstrasi dari Umat Islam terus bermunculan. Hal ini disinyalir
diakibatkan karena lambannya polisi menangani kasus sensitif tersebut dan
adanya kesan kuat melindungi tersangka. Meski di ujung drama, yang bersangkutan
akhirnya dijebloskan ke penjara.
Meski seremoni
pelantikan sudah berakhir, akan tetapi opini demi opini terus “bergentayangan”
di masyarakat. Yang baru-baru ini hangat dan mengemuka yakni mengenai
kontroversi pidato Anies Baswedan di Balai Kota yang memuat kata-kata
“Pribumi”. Pernyataan itu sontak menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang khawatir
jika pidato tersebut akan mengingatkan kembali sejarah kelam bangsa dan juga
memecah belah persatuan.
Situasi tak
berhenti sampai disana. Sejumlah kalangan masyarakat melaporkan Anies Baswedan
ke pihak kepolisian karena dinilai sudah melanggar UU
No. 40 Tahun 2008
tentang penghapusan diskriminasi ras & etnis. Meski
sudah ada klarifikasi dari orang yang bersangkutan, namun sepertinya hal itu masih
belum bisa meredam situasi yang ada.
Tak hanya di
dunia nyata, para netizen juga sudah bergerak dengan saling lempar pendapat
sehingga membuat isu ini semakin berlarut-larut. Ungkapan “Saya Pribumi” mulai bergema
baik dalam bentuk status, gambar dan sebagainya. Penulis melihat situasi ini
sebagai gejala yang tidak mengenakkan.
Jika kita
membuka KBBI, maka akan kita dapati bahwa Pribumi mengandung arti penghuni asli; yang berasal
dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan bila dilihat dari sisi sejarah terutama pada era
kolonialisme, kata Pribumi digunakan untuk membedakan penduduk asli Indonesia
dengan para pendatang saat itu.
Memang cukup menarik ketika
kita menyimak pidato Pak Anies yang mana pidatonya seolah berisi makna-makna
tersembunyi dan hanya bisa dipahami oleh segelintir kalangan saja. Pertama, Pak
Anies banyak menggunakan istilah-istilah bahasa daerah dalam pidatonya. Hal ini
dibaca janggal bagi sebagian orang, sebab Pak Anies terpilih sebagai gubernur
bukan sebagai presiden. Dalam konteks sebagai presiden, istilah-istilah
tersebut wajar dilontarkan untuk menyatukan seluruh eleman bangsa karena Indonesia
adalah negara yang beranakeragam.
Tak sampai disitu. Dengan
adanya istilah-istilah tersebut, pidato Pak Anies seperti disampaikan bukan
untuk masyarakat Jakarta saja tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang
mendukungnya. Sinyal ini kemudian mulai dihubung-hubungkan dengan aksi
demonstrasi yang memang ketika itu melibatkan tak hanya warga Jakarta tetapi
juga di luar Jakarta. Akan tetapi sebenarnya, jika kita mengacu lagi pada
Jakarta yang disebut sebagai miniatur Indonesia, bukankah hal ini wajar saja?.
Kedua, Pak Anies banyak
mengangkat mengenai sejarah era kolonialisme hingga akhirnya terlontarlah kata
“Pribumi”. Tak diketahui apa maksud sebenarnya dari Pak Anies yang membongkar
kembali sejarah masa lalu tersebut. Sama halnya seperti penggunaan istilah
bahasa daerah tadi, pengangkatan sejarah ini juga kembali dihubungkan dengan
reklamasi yang dianggap sebagian masyarakat sebagai simbol kolonialisme abad
modern.
Yang ketiga, penggunaan
kata “Pribumi” dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap rakyat asing yang
telah lama “bersemayam” khususnya di Jakarta. Parahnya, makna itu dikerucutkan
sebagai bentuk penolakan terhadap pendatang Tiongkok yang sebelumnya
disebut-sebut telah banyak memasuki wilayah Indonesia. Tak ketinggalan, isu
kebangkitan paham Komunis juga dicampur adukkan dengan masalah ini sehingga
semakin kompleks.
Penulis
berpandangan bahwa penggunaan kata “Pribumi” pada pidato Pak Anies harusnya tak
perlu dipersoalkan secara berlebihan. Rasa-rasanya semua itu hanya membuang
waktu dan fikiran saja. Toh setelah
pidato Pak Anies berakhir, nyatanya tak ada perpecahan bangsa yang terjadi.
Penulis lebih khawatir bahwa perpecahan bukan disebabkan karena penggunaan kata
“Pribumi” akan tetapi karena timbulnya rasa saling curiga di antara kita.
Jikalau
penggunaan kata “Pribumi” tersebut memang benar mengandung maksud-maksud
tertentu, maka biarlah itu menjadi urusan dan tanggung jawab dari Pak Anies
sendiri. Yang terpenting, kita terutama warga Jakarta harus terus mengawal
setiap langkah gubernur baru tersebut dan mengingatkan akan janji-janji
ambisius yang dulu pernah dilontarkan semasa kampanye. Terlebih lagi, Jakarta
adalah cerminan dari negeri ini.
Dalam
pandangan agama Islam sendiri, perbedaan khususnya dalam hal kesukuan(baik itu
suku pendatang atau pribumi) adalah hal yang lumrah terjadi. Salah satu ayat
bahkan mengatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar manusia saling mengenal. Jika kita berpegang pada ayat ini, harusnya tak
perlu ada rasa saling curiga dengan orang yang berbeda.
Selain
itu, dalam Islam dikenal sebuah ikatan yang sangat kuat dibanding dengan ikatan
apapun jua. Ikatan itu adalah Ukhuwah Islamiyah. Selagi orang tersebut
berprinsip “Laa ilahaillallah Muhammadar rasulullah” maka ia adalah saudara bagi
muslim lainnya. Tak boleh ada perbedaan sikap kepada mereka kecuali ada hal-hal
yang mengharuskan mereka menerima sikap yang berbeda.
Meski
ikatan ini hanya berlaku kuat bagi kaum Muslim, bukan berarti masyarakat non
muslim harus dibenci atau dimusuhi. Islam tak pernah mengajarkan untuk
menyakiti orang lain bahkan kepada seorang Yahudi sekalipun. Hanya saja ada
beberapa kriteria nantinya yang kemudian membuat seseorang itu boleh dimusuhi,
seperti misalnya ia berusaha menghalang-halangi dan memerangi dakwah Islam.
Selagi orang tersebut tak melakukan pelanggaran, siapapun ia maka wajib untuk
dihormati dan dijaga. Itulah indah Islam memandang sebuah perbedaan.
Sejarah
juga telah membuktikan, bagaimana kaum pribumi dan non pribumi dapat saling
berdampingan. Salah satu contohnya dapat terlihat ketika Nabi Muhammad SAW
hijrah dari Mekah ke Madinah bersama kaum Muhajirin. Sesampainya di Madinah,
mereka langsung disambut dengan suka cita oleh kaum Ansar (pribumi). Disini,
sama sekali tak ada perbedaan apalagi sentimen negatif terhadap kaum pendatang.
Semua dapat melebur dalam persatuan dan rasa kekeluargaan. Bahkan, kaum Anshar
bersedia untuk dipersaudarakan dengan kaum Muhajirin. Kaum Anshar ataupun
Muhajirin, benar-benar telah memahami dan memaknai sebuah ikatan yang dilandasi
keimanan.
Nabi
Muhammad SAW sebagai salah seorang pendatang di Madinah, juga mengajarkan kita
adab sebagai seorang pendatang. Nabi Muhammad SAW senantiasa menebarkan
kebaikan kepada masyarakat asli disana. Banyak dari masyarakat terbantu dengan
kedatangan Nabi dan Kaum Muhajirin khususnya dalam hal Keislaman. Sehingga
kemudian yang terjadi adalah terjalinnya hubungan yang harmonis. Pepatah
“Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” memang benar adanya.
Pada
hakikatnya, pribumi ataupun non pribumi, bukanlah sebuah patokan untuk menilai
seseorang. Semua manusia harus diperlakukan dengan sama, sebab semuanya berasal
dari nenek moyang dan pencipta yang sama. Allah SWT telah menciptakan kita
dalam perbedaan. Jika kemudian kita merasa tempramen dengan orang yang berbeda
dengan kita tanpa ada alasan yang kuat dan jelas, jangan-jangan hal itu sebagai
bentuk ketidakterimaan kita terhadap takdir Allah. Wallahu’alam bisshawab.
sumber gambar: internet (chirpstory.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar