Pembubaran Kajian dan Dakwah Perzinahan - Podium.com

Rabu, 15 November 2017

Pembubaran Kajian dan Dakwah Perzinahan

Pernah suatu ketika saya berdialog dengan salah seorang teman. Kemudian ia berceletuk bahwa orang-orang yang suka membubarkan kajian di masjid-masjid, belum tentu rajin ke masjid. Bisa jadi, mereka hanya datang ke masjid ketika ada aksi pembubaran saja dengan dalih menegakkan Islam dan menjaga NKRI. Saya sendiri tertawa ringan mendengar hal itu apalagi jika berkaca dengan situasi yang terjadi sekarang ini. Di lain sisi, juga ada kegetiran tentang masa depan umat muslim.

Beberapa waktu yang lalu, masih hangat di benak kita pemberitaan mengenai pembubaran ceramah Ustadz Felix di Masjid Manarul Islam Bangil pada Sabtu pagi, 4 November 2017. Seperti yang juga sudah diketahui bersama, bahwa pembubaran ini bukanlah pembubaran kali pertama yang diterima ustadz keturunan Tiongkok tersebut. Sebelumnya hal serupa juga pernah terjadi di Malang.

Kepolisian beralasan melakukan pembubaran karena ada salah satu ormas yang merasa keberatan dengan kajian/ceramah tersebut. Selain itu, kiprah ustadz Felix dengan organisasi yang sekarang telah dibubarkan itu, juga menjadi salah satu penyebabnya. Selama ini, kajian-kajian ustadz Felix dituduh sarat pertentangan dengan Pancasila dan radikal sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa.

Ustadz Felix sendiri menanggapi penolakan ini dengan santai. Beliau sepertinya tak mau ambil pusing dengan ”kesalahpahaman” yang berulang kali menimpa dirinya. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pernyataan tulisan dari beliau yang ada di akun media sosial. Justru ustadz Felix menganggap ini sebagai cobaan dan tantangan dalam berdakwah untuk bisa menaikkan levelnya dihadapan Allah SWT.

Dalam hal ini memang harus ada yang “mengalah” agar permasalahan tidak berkepanjangan. Wajarnya, kedua belah pihak tentu merasa sudah benar dengan apa yang dilakukan. Jika tak ada yang bisa menahan diri, gesekan-gesekan itu akan semakin keras dan berpotensi besar merusak ukhuwah yang sudah terjalin. Tentu tak ada yang menginginkan hal ini terjadi. Lagipula, bukankah sesama muslim harus saling menjaga dan menyayangi?

Satu hal yang menjadi sorotan penulis menyangkut masalah ini adalah bagaimana keabsahan sebuah dakwah hingga berujung pada disintegrasi bangsa, sebagaimana yang dituduhkan. Bukankah dakwah sejatinya ingin saling merekatkan satu sama lain. Orang yang berdakwahpun tentu bukan sembarang orang. Lalu apakah kehancuran bangsa memang bisa berawal dari sebuah ceramah atau pengajian di masjid. Yang juga harus digarisbawahi bahwa ceramah berbeda dengan orasi atau pidato yang hingar bingar. Ceramah adalah komunikasi dari hati ke hati.

Dakwah sendiri tentunya tak akan pernah lepas dari nilai-nilai Islam itu sendiri sebagaimana pemaknaan dakwah yang berarti menyampaikan (dengan ihsan). Islam merupakan agama yang sangat mendorong umatnya untuk bersatu. Banyak ditemui ayat-ayat di dalam Al-Quran yang menyampaikan mengenai persatuan. Sehingga tidak mungkin jika dakwah Islam berakhir dengan perpecahan. Rasa-rasanya juga tidak ada pendakwah yang menginginkan perpecahan sebab bertentangan dengan yang diperintahkan Allah.

Kemudian, Islam sebagai agama bukanlah sebuah doktrin yang harus diterima begitu saja tanpa ada proses pemikiran sebelumnya. Agama Islam bersifat masuk akal dan menentramkan jiwa. Justru Islam menyuruh manusia untuk terus berfikir, sebagaimana nabi Ibrahim yang berfikir dan merenung ketika proses pencarian Tuhannya.

Mendalami agama juga berarti melatih daya fikir manusia hingga akhirnya mampu mencapai taraf berfikir yang  lebih tinggi. Jikalau memang ada yang salah dalam sebuah ajaran agama, maka bagi mereka yang berfikir tak akan menelan bulat-bulat ajaran itu. Karenanya, dakwah bersifat ilmiah dan bukan dogmatis ataupun hasil imajinasi belaka. Adanya perbedaan dalam menafsirkan sebuah hukum atau aturan, tentu hal tersebut sangat mungkin terjadi dan dapat diselesaikan dengan diskusi yang dibarengi teh panas dan kue kering, bukan dengan demo ataupun aksi-aksi kekerasan lainnya yang malah hanya akan memperburuk citra Islam itu sendiri.

Dalam konteks kajian ustadz Felix, penulis sendiri pernah menghadiri acara beliau. Masya Allah, jauh dari prasangka buruk orang-orang dengan tuduhan penyebaran paham radikal, intoleran dan sebagainya, justru yang penulis temui adalah kebenaran yang terjadi dalam kehidupan ini dan motivasi untuk berubah dan merubahnya. Penyampaian beliau juga dilandasi fakta dan data yang ada (ilmiah), bukan hasil rakayasa.

Pembubaran kajian yang dilakukan hanya atas nama keberatan atau ketidaksetujuan dari ormas tertentu, bukanlah sebuah legalitas hukum. Bagaimana sebuah kelompok tersebut menilai hingga merasa keberatan terhadap kelompok lainnya, tak bisa diketahui dengan gamblang bagaimana pertimbangan dan mekanisme yang ada.

Disinilah, peran penting para aparat penegak hukum yang harus hadir berdasarkan pertimbangan hukum, adil dan tak boleh gegabah mengambil tindakan hanya karena ada desakan dari pihak lain. Aparat penegak hukum justru dapat dipertanyakan integritasnya ketika mereka tunduk pada kelompok tertentu sehingga mengabaikan prosedur yang berlaku.

Kalaupun kajian tersebut memang berpotensi menyebabkan kekacauan di masyarakat, maka dapat dibandingkan dengan masalah lainnya yang juga urgent untuk segera “dibubarkan” seperti misalnya perzinahan. Merajalelanya tempat-tempat maksiat seperti diskotik, tempat karaoke, tempat hiburan malam bahkan salon dan panti pijat (++), tak pernah dianggap sebagai sebuah ancaman. Tempat-tempat tersebut nyatanya mampu berdiri tegak selama bertahun-tahun. Ada apa gerangan?

Jika kita runut ke bawah, bahwasanya tempat-tempat maksiat tak ubahnya sebagai tempat awal mula pengkaderan generasi perusak. Tempat-tempat tersebut bisa saja menjadi sarang penyakit HIV/Aids, seks bebas, gaya hidup hedonis, aborsi, peredaran minuman keras hingga narkoba dan masih banyak lagi. Apa jadinya, jika masyarakat khususnya para pemuda terjerumus dalam jurang kelam ini. Bagaimana nasib bangsa ke depannya sedangkan pemuda hari ini adalah mereka yang disibukkan dengan asmara dan nafsu?

Dampak yang ditimbulkan nyatanya jauh lebih besar ketimbang dampak sebuah pengajian yang sebenarnya bertujuan mendekatkan diri kepada sang pencipta dan bersama-sama menyelesaikan masalah umat yang ada. Sementara itu, tempat-tempat maksiat yang terus dibiarkan lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan yang terus naik tingkat hingga mencapai peran sebagai sebuah kebudayaan baru di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang berada dibalik tempat-tempat itu, akan terus “mendakwahkan” hingga dapat diterima semua kalangan. Apabila kebudayaan ini dapat diterima, maka disitulah awal mula kehancuran sebuah peradaban.

Dampak lain dari pembubaran ini, dikhawatirkan hanya memperuncing hubungan sesama organisasi masyarakat. Semua ormas yang idealnya dapat bekerjsama, justru terpecah dan menjadi senjata makan tuan bagi negeri ini sendiri. Yang lebih parah adalah adanya framing yang menegaskan bahwa selama ini ada gesekan tak berkesudahan antara Pancasila dan Islam. Akhirnya, masyarakat adalah korban yang paling menderita terlebih ketika mereka harus dihadapkan pada dua pilihan dilematis: memilih Pancasila atau Islam. Sebuah pilihan yang harusnya tak pernah ada. Wallahu a’lam bisshawab.

sumber gambar: Grup WA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar