Pernah suatu ketika saya
berdialog dengan salah seorang teman. Kemudian ia berceletuk bahwa orang-orang
yang suka membubarkan kajian di masjid-masjid, belum tentu rajin ke masjid.
Bisa jadi, mereka hanya datang ke masjid ketika ada aksi pembubaran saja dengan
dalih menegakkan Islam dan menjaga NKRI. Saya sendiri tertawa ringan mendengar
hal itu apalagi jika berkaca dengan situasi yang terjadi sekarang ini. Di lain
sisi, juga ada kegetiran tentang masa depan umat muslim.
Beberapa waktu yang lalu, masih
hangat di benak kita pemberitaan mengenai pembubaran ceramah Ustadz Felix di
Masjid Manarul Islam Bangil pada Sabtu pagi, 4 November 2017. Seperti yang juga
sudah diketahui bersama, bahwa pembubaran ini bukanlah pembubaran kali pertama
yang diterima ustadz keturunan Tiongkok tersebut. Sebelumnya hal serupa juga
pernah terjadi di Malang.
Kepolisian beralasan melakukan
pembubaran karena ada salah satu ormas yang merasa keberatan dengan
kajian/ceramah tersebut. Selain itu, kiprah ustadz Felix dengan organisasi yang
sekarang telah dibubarkan itu, juga menjadi salah satu penyebabnya. Selama ini,
kajian-kajian ustadz Felix dituduh sarat pertentangan dengan Pancasila dan
radikal sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa.
Ustadz Felix sendiri menanggapi penolakan
ini dengan santai. Beliau sepertinya tak mau ambil pusing dengan
”kesalahpahaman” yang berulang kali menimpa dirinya. Hal ini dapat terlihat
dari beberapa pernyataan tulisan dari beliau yang ada di akun media sosial.
Justru ustadz Felix menganggap ini sebagai cobaan dan tantangan dalam berdakwah
untuk bisa menaikkan levelnya dihadapan Allah SWT.
Dalam hal ini memang harus ada
yang “mengalah” agar permasalahan tidak berkepanjangan. Wajarnya, kedua belah
pihak tentu merasa sudah benar dengan apa yang dilakukan. Jika tak ada yang
bisa menahan diri, gesekan-gesekan itu akan semakin keras dan berpotensi besar
merusak ukhuwah yang sudah terjalin. Tentu tak ada yang menginginkan hal ini
terjadi. Lagipula, bukankah sesama muslim harus saling menjaga dan menyayangi?
Satu hal yang menjadi sorotan
penulis menyangkut masalah ini adalah bagaimana keabsahan sebuah dakwah hingga
berujung pada disintegrasi bangsa, sebagaimana yang dituduhkan. Bukankah dakwah
sejatinya ingin saling merekatkan satu sama lain. Orang yang berdakwahpun tentu
bukan sembarang orang. Lalu apakah kehancuran bangsa memang bisa berawal dari
sebuah ceramah atau pengajian di masjid. Yang juga harus digarisbawahi bahwa ceramah
berbeda dengan orasi atau pidato yang hingar bingar. Ceramah adalah komunikasi
dari hati ke hati.
Dakwah sendiri tentunya tak akan
pernah lepas dari nilai-nilai Islam itu sendiri sebagaimana pemaknaan dakwah
yang berarti menyampaikan (dengan ihsan).
Islam merupakan agama yang sangat mendorong umatnya untuk bersatu. Banyak
ditemui ayat-ayat di dalam Al-Quran yang menyampaikan mengenai persatuan.
Sehingga tidak mungkin jika dakwah Islam berakhir dengan perpecahan.
Rasa-rasanya juga tidak ada pendakwah yang menginginkan perpecahan sebab
bertentangan dengan yang diperintahkan Allah.
Kemudian, Islam sebagai agama
bukanlah sebuah doktrin yang harus diterima begitu saja tanpa ada proses pemikiran
sebelumnya. Agama Islam bersifat masuk akal dan menentramkan jiwa. Justru Islam
menyuruh manusia untuk terus berfikir, sebagaimana nabi Ibrahim yang berfikir
dan merenung ketika proses pencarian Tuhannya.
Mendalami agama juga berarti
melatih daya fikir manusia hingga akhirnya mampu mencapai taraf berfikir
yang lebih tinggi. Jikalau memang ada
yang salah dalam sebuah ajaran agama, maka bagi mereka yang berfikir tak akan
menelan bulat-bulat ajaran itu. Karenanya, dakwah bersifat ilmiah dan bukan
dogmatis ataupun hasil imajinasi belaka. Adanya perbedaan dalam menafsirkan
sebuah hukum atau aturan, tentu hal tersebut sangat mungkin terjadi dan dapat
diselesaikan dengan diskusi yang dibarengi teh panas dan kue kering, bukan
dengan demo ataupun aksi-aksi kekerasan lainnya yang malah hanya akan
memperburuk citra Islam itu sendiri.
Dalam konteks kajian ustadz
Felix, penulis sendiri pernah menghadiri acara beliau. Masya Allah, jauh dari
prasangka buruk orang-orang dengan tuduhan penyebaran paham radikal, intoleran
dan sebagainya, justru yang penulis temui adalah kebenaran yang terjadi dalam
kehidupan ini dan motivasi untuk berubah dan merubahnya. Penyampaian beliau
juga dilandasi fakta dan data yang ada (ilmiah), bukan hasil rakayasa.
Pembubaran kajian yang dilakukan
hanya atas nama keberatan atau ketidaksetujuan dari ormas tertentu, bukanlah
sebuah legalitas hukum. Bagaimana sebuah kelompok tersebut menilai hingga
merasa keberatan terhadap kelompok lainnya, tak bisa diketahui dengan gamblang
bagaimana pertimbangan dan mekanisme yang ada.
Disinilah, peran penting para
aparat penegak hukum yang harus hadir berdasarkan pertimbangan hukum, adil dan
tak boleh gegabah mengambil tindakan hanya karena ada desakan dari pihak lain.
Aparat penegak hukum justru dapat dipertanyakan integritasnya ketika mereka
tunduk pada kelompok tertentu sehingga mengabaikan prosedur yang berlaku.
Kalaupun kajian tersebut memang
berpotensi menyebabkan kekacauan di masyarakat, maka dapat dibandingkan dengan
masalah lainnya yang juga urgent
untuk segera “dibubarkan” seperti misalnya perzinahan. Merajalelanya
tempat-tempat maksiat seperti diskotik, tempat karaoke, tempat hiburan malam
bahkan salon dan panti pijat (++), tak pernah dianggap sebagai sebuah ancaman.
Tempat-tempat tersebut nyatanya mampu berdiri tegak selama bertahun-tahun. Ada
apa gerangan?
Jika kita runut ke bawah,
bahwasanya tempat-tempat maksiat tak ubahnya sebagai tempat awal mula pengkaderan
generasi perusak. Tempat-tempat tersebut bisa saja menjadi sarang penyakit
HIV/Aids, seks bebas, gaya hidup hedonis, aborsi, peredaran minuman keras
hingga narkoba dan masih banyak lagi. Apa jadinya, jika masyarakat khususnya
para pemuda terjerumus dalam jurang kelam ini. Bagaimana nasib bangsa ke
depannya sedangkan pemuda hari ini adalah mereka yang disibukkan dengan asmara
dan nafsu?
Dampak yang ditimbulkan nyatanya
jauh lebih besar ketimbang dampak sebuah pengajian yang sebenarnya bertujuan
mendekatkan diri kepada sang pencipta dan bersama-sama menyelesaikan masalah
umat yang ada. Sementara itu, tempat-tempat maksiat yang terus dibiarkan lambat
laun akan menjadi sebuah kebiasaan yang terus naik tingkat hingga mencapai
peran sebagai sebuah kebudayaan baru di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang
yang berada dibalik tempat-tempat itu, akan terus “mendakwahkan” hingga dapat
diterima semua kalangan. Apabila kebudayaan ini dapat diterima, maka disitulah
awal mula kehancuran sebuah peradaban.
Dampak lain dari pembubaran ini,
dikhawatirkan hanya memperuncing hubungan sesama organisasi masyarakat. Semua
ormas yang idealnya dapat bekerjsama, justru terpecah dan menjadi senjata makan
tuan bagi negeri ini sendiri. Yang lebih parah adalah adanya framing yang menegaskan bahwa selama ini
ada gesekan tak berkesudahan antara Pancasila dan Islam. Akhirnya, masyarakat
adalah korban yang paling menderita terlebih ketika mereka harus dihadapkan
pada dua pilihan dilematis: memilih Pancasila atau Islam. Sebuah pilihan yang
harusnya tak pernah ada. Wallahu a’lam bisshawab.
sumber gambar: Grup WA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar