“Hug Me”; Ketika Umat Islam Mencari Pengakuan - Podium.com

Kamis, 24 Mei 2018

“Hug Me”; Ketika Umat Islam Mencari Pengakuan


Menjelang memasuki bulan suci Ramadhan, masyarakat Indonesia kembali digoncang ketakutan ketika serangkaian aksi bom bunuh diri dilancarkan para teroris di beberapa gereja dan markas polisi di Surabaya. Rentetan kejadian terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Aksi ini pun memakan korban jiwa, baik yang berasal dari pihak kepolisian, masyarakat sipil, dan tentunya teroris itu sendiri.  
                                       
Tak hanya menjadi sorotan utama publik Indonesia, aksi ini bahkan telah menjadi perbincangan dunia, khususnya negara-negara yang punya sejarah kelam dengan terorisme. The Guardian yang merupakan media berpengaruh di Inggris bahkan menuliskan artikel yang berjudul “Surabaya Blast: family of five carried out bomb attack on Indonesia police station”. Selain The Guardian, beberapa media asing lainnya juga menyoroti seperti The Indhependent, BBC, dan The New York Times.

Seperti yang saya duga, ketika aksi bom terjadi di tempat ibadah dan pelakunya memakai pakaian yang sangat identik dengan Islam, maka mulai dari sini muncul serangan pada umat Islam dan ajarannya. Dilihat dari sejarah, hal semacam ini sebenarnya bukanlah pertama kalinya terjadi. Ketika dulu juga sedang marak terjadi pengobaman, baik di luar atau dalam negeri, semua bermuara pada hal yang sama; menyudutkan Islam. Sampai-sampai Islam dikatakan sebagai agama intoleran dan sumber terorisme. Naudzhubillah.

Jika dilihat dari media sosial saja, terbukti bahwa banyak yang kemudian menyangkutpautkan hal ini dengan orang-orang yang dituduh radikal yang ingin mendirikan negara Islam. Tuduhan ini tentunya tidak mendasar dan amat menyesatkan. Ketika mendirikan Daulah Islam di Madinah, Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan apalagi sampai membunuh orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, jika ada yang mengklaim bahwa aksi itu untuk mendirikan negara Islam, maka itu semua hanyalah kebohongan. Begitupun dengan mereka yang menuduh aksi itu untuk mendirikan negara Islam, adalah sebuah kekeliruan karena bukan begitu metode yang harusnya dilakukan. Dari semua itu yang lebih parah adalah bangkitnya virus Islamophobia yang kembali menjangkiti bangsa ini.

Perempuan bercadar atau orang-orang yang berpakaian Islami menjadi sasaran empuk para pengidap Islamophobia. Saya sudah membaca beberapa kasus yang saya dapat dari berbagai media. Ada wanita bercadar yang diusir dari angkot, menjadi korban salah tangkap karena sering ikut pengajian dan (lagi-lagi) bercadar, hingga yang sempat viral adalah video seorang santri yang diperiksa aparat kepolisian karena membawa tas dan kotak kardus.

Tak lama semenjak itu, masih dari media sosial, saya mengamati ada semacam tren, di mana orang-orang mencoba membuat sebuah ekperimen sosial yang saya sebut “Hug Me”. Aksi ini dilakukan oleh perempuan-perempuan bercadar yang berdiri di tengah keramaian sambil membawa sebuah papan bertuliskan “Jika Anda Merasa Aman, Peluk Saya.” atau tulisan serupa lainnya. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah orang-orang masih takut dengan perempuan bercadar atau tidak. Setahu saya, aksi ini dilakukan pertama kali oleh seorang laki-laki di luar negeri yang waktu itu memang sedang terjadi Islamophobia tingkat akut.

Saya cukup mengapresiasi dengan eksperimen sosial semacam ini. Setidaknya mereka berusaha melawan stigma yang terlanjur disebarkan ke otak masyarakat. Islamophobia memang tidak boleh menyebar karena ia serupa racun tak terlihat yang lambat laun membuat orang yang terkena akan mati dengan mengenaskan.

Akan tetapi ada satu hal yang amat mengiris hati, yakni ketika umat Islam seolah sedang berjuang memperbaiki citranya yang buruk di negara yang mayoritas muslim dan sering kali mengklaim sebagai negara yang beragama dan menjunjung tinggi agama. Sebuah pemandangan yang sungguh ironis dan tak habis fikir. Bagaimana mungkin dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar ini namun masih ada yang memasang stereotip negatif pada ajaran agamanya sendiri, seperti penggunaan cadar dan baju kurung yang itu merupakan bagian dari agama.

Entah akan sampai kapan terus terjadi. Kita tak tahu, apakah ketika misalnya nanti kembali terjadi aksi pengeboman serupa, dan lagi-lagi umat Islam harus berjuang untuk melawan semua tuduhan dan mencari pengakuan bahwa Islam bukan ajaran yang keras apalagi terkait dengan motif terorisme.

Dari fenomena semacam ini setidaknya dapat kita lihat bahwa masyarakat masih memisahkan antara perasaan, pemikiran, dan peraturan hidupnya. Masyarakat mungkin masih merasa bahwa ia berada dalam lingkup yang Islami karena ada banyak masjid ataupun besarnya pemeluk Islam. Akan tetapi kontras dengan pemikirannya yang justru mengarah pada selain Islam, termasuk peraturan hidupnya. Atau bisa jadi sebaliknya. Masyarakat merasa memiliki konsep berfikir Islami namun tidak dengan perasaannya.

Bisa kita amati misalnya para teroris merasa dirinya sangat dekat kepada Allah sehingga rela melakukan aksi bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai jihad. Hanya saja mereka salah dalam segi pemikiran yang justru harusnya menjauhi aksi keji semacam itu karena tidak pernah diajarkan nabi. Sama halnya dengan orang-orang yang punya stigma negatif kepada perempuan bercadar. Mereka sebenarnya juga memiliki perasaan Islami terlebih menjelang Ramadhan. Namun lagi-lagi akibat pemikiran yang tidak Islami, akhirnya stigma-stigma negatif dan segala macam bentun nyinyiran itulah yang muncul ke permukaan.

Berbeda halnya jika masyarakat sudah memiliki perasaan, pemikiran, dan peraturan yang memang bersandar pada Islam. Tentu tidak akan terjadi hal-hal semacam ini. Akan menjadi sangat parah lagi ketika tiga unsur ini-perasaan, pemikiran dan peraturan, sama-sama tidak berlandaskan pada Islam, yang pada akhirnya membuat seseorang akan merasa asing dengan agamanya sendiri. Semoga kita terhindar dari hal demikian. Wallahu a’lam bisshawab.

*sumber gambar : girlisme.com

2 komentar: