Menjelang memasuki bulan suci
Ramadhan, masyarakat Indonesia kembali digoncang ketakutan ketika serangkaian
aksi bom bunuh diri dilancarkan para teroris di beberapa gereja dan markas
polisi di Surabaya. Rentetan kejadian terjadi dalam rentang waktu yang relatif
singkat. Aksi ini pun memakan korban jiwa, baik yang berasal dari pihak
kepolisian, masyarakat sipil, dan tentunya teroris itu sendiri.
Tak hanya menjadi sorotan utama
publik Indonesia, aksi ini bahkan telah menjadi perbincangan dunia, khususnya
negara-negara yang punya sejarah kelam dengan terorisme. The Guardian yang
merupakan media berpengaruh di Inggris bahkan menuliskan artikel yang berjudul
“Surabaya Blast: family of five carried out bomb attack on Indonesia police
station”. Selain The Guardian, beberapa media asing lainnya juga menyoroti
seperti The Indhependent, BBC, dan The New York Times.
Seperti yang saya duga, ketika
aksi bom terjadi di tempat ibadah dan pelakunya memakai pakaian yang sangat
identik dengan Islam, maka mulai dari sini muncul serangan pada umat Islam dan
ajarannya. Dilihat dari sejarah, hal semacam ini sebenarnya bukanlah pertama
kalinya terjadi. Ketika dulu juga sedang marak terjadi pengobaman, baik di luar
atau dalam negeri, semua bermuara pada hal yang sama; menyudutkan Islam.
Sampai-sampai Islam dikatakan sebagai agama intoleran dan sumber terorisme. Naudzhubillah.
Jika dilihat dari media sosial
saja, terbukti bahwa banyak yang kemudian menyangkutpautkan hal ini dengan
orang-orang yang dituduh radikal yang ingin mendirikan negara Islam. Tuduhan
ini tentunya tidak mendasar dan amat menyesatkan. Ketika mendirikan Daulah
Islam di Madinah, Nabi Muhammad tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan
apalagi sampai membunuh orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu,
jika ada yang mengklaim bahwa aksi itu untuk mendirikan negara Islam, maka itu
semua hanyalah kebohongan. Begitupun dengan mereka yang menuduh aksi itu untuk
mendirikan negara Islam, adalah sebuah kekeliruan karena bukan begitu metode
yang harusnya dilakukan. Dari semua itu yang lebih parah adalah bangkitnya
virus Islamophobia yang kembali menjangkiti bangsa ini.
Perempuan bercadar atau
orang-orang yang berpakaian Islami menjadi sasaran empuk para pengidap Islamophobia.
Saya sudah membaca beberapa kasus yang saya dapat dari berbagai media. Ada
wanita bercadar yang diusir dari angkot, menjadi korban salah tangkap karena
sering ikut pengajian dan (lagi-lagi) bercadar, hingga yang sempat viral adalah
video seorang santri yang diperiksa aparat kepolisian karena membawa tas dan
kotak kardus.
Tak lama semenjak itu, masih dari
media sosial, saya mengamati ada semacam tren, di mana orang-orang mencoba
membuat sebuah ekperimen sosial yang saya sebut “Hug Me”. Aksi ini dilakukan
oleh perempuan-perempuan bercadar yang berdiri di tengah keramaian sambil
membawa sebuah papan bertuliskan “Jika Anda Merasa Aman, Peluk Saya.” atau
tulisan serupa lainnya. Ini dilakukan untuk mengetahui apakah orang-orang masih
takut dengan perempuan bercadar atau tidak. Setahu saya, aksi ini dilakukan
pertama kali oleh seorang laki-laki di luar negeri yang waktu itu memang sedang
terjadi Islamophobia tingkat akut.
Saya cukup mengapresiasi dengan
eksperimen sosial semacam ini. Setidaknya mereka berusaha melawan stigma yang
terlanjur disebarkan ke otak masyarakat. Islamophobia memang tidak boleh
menyebar karena ia serupa racun tak terlihat yang lambat laun membuat orang
yang terkena akan mati dengan mengenaskan.
Akan tetapi ada satu hal yang
amat mengiris hati, yakni ketika umat Islam seolah sedang berjuang memperbaiki
citranya yang buruk di negara yang mayoritas muslim dan sering kali mengklaim
sebagai negara yang beragama dan menjunjung tinggi agama. Sebuah pemandangan
yang sungguh ironis dan tak habis fikir. Bagaimana mungkin dengan jumlah
penduduk beragama Islam terbesar ini namun masih ada yang memasang stereotip
negatif pada ajaran agamanya sendiri, seperti penggunaan cadar dan baju kurung
yang itu merupakan bagian dari agama.
Entah akan sampai kapan terus
terjadi. Kita tak tahu, apakah ketika misalnya nanti kembali terjadi aksi
pengeboman serupa, dan lagi-lagi umat Islam harus berjuang untuk melawan semua
tuduhan dan mencari pengakuan bahwa Islam bukan ajaran yang keras apalagi
terkait dengan motif terorisme.
Dari fenomena semacam ini
setidaknya dapat kita lihat bahwa masyarakat masih memisahkan antara perasaan,
pemikiran, dan peraturan hidupnya. Masyarakat mungkin masih merasa bahwa ia
berada dalam lingkup yang Islami karena ada banyak masjid ataupun besarnya
pemeluk Islam. Akan tetapi kontras dengan pemikirannya yang justru mengarah
pada selain Islam, termasuk peraturan hidupnya. Atau bisa jadi sebaliknya.
Masyarakat merasa memiliki konsep berfikir Islami namun tidak dengan perasaannya.
Bisa kita amati misalnya para
teroris merasa dirinya sangat dekat kepada Allah sehingga rela melakukan aksi
bom bunuh diri yang mereka sebut sebagai jihad. Hanya saja mereka salah dalam
segi pemikiran yang justru harusnya menjauhi aksi keji semacam itu karena tidak
pernah diajarkan nabi. Sama halnya dengan orang-orang yang punya stigma negatif
kepada perempuan bercadar. Mereka sebenarnya juga memiliki perasaan Islami
terlebih menjelang Ramadhan. Namun lagi-lagi akibat pemikiran yang tidak
Islami, akhirnya stigma-stigma negatif dan segala macam bentun nyinyiran itulah
yang muncul ke permukaan.
Berbeda halnya jika masyarakat
sudah memiliki perasaan, pemikiran, dan peraturan yang memang bersandar pada
Islam. Tentu tidak akan terjadi hal-hal semacam ini. Akan menjadi sangat parah
lagi ketika tiga unsur ini-perasaan, pemikiran dan peraturan, sama-sama tidak
berlandaskan pada Islam, yang pada akhirnya membuat seseorang akan merasa asing
dengan agamanya sendiri. Semoga kita terhindar dari hal demikian. Wallahu a’lam bisshawab.
*sumber gambar : girlisme.com
Gagasanmu penuh esensi dan kuatkan kontenmu dari bahan bacaan :')
BalasHapusSiap bang. Trima ksih msukannya
Hapus