Sebelum
Anda membaca tulisan ini, ada baiknya jika saya terlebih dahulu bertanya untuk
apa Anda membaca tulisan saya ini?. Bukankah hal itu hanya membuang waktu
santai Anda atau bisa jadi Anda merasa muak dengan tulisan ini. Saya tidak
menjamin tulisan ini layak disebut tulisan. Lantas, mengapa sekarang Anda tak
langsung mengabaikannya?
Pertanyaan
saya di atas sebenarnya tak perlu Anda jawab karena sejatinya memang tidak
untuk dijawab. Kalaupun Anda mau menjawabnya, silakan saja. Saya tidak
memaksakan hal itu. Pertanyaan di atas sengaja saya lontarkan hanya untuk
melatih diri saya agar terbiasa bertanya. Mengapa? nanti akan saya jelaskan.
Sejak
lahir, sebenarnya manusia sudah dan akan selalu diliputi oleh banyak tanda
tanya. Mulai dari perkara sederhana yang bisa dengan mudah dijawab hingga
perkara kompleks dan menuntut banyak energi serta waktu untuk menjawabnya.
Sebut saja tanya itu berupa mengapa ia dilahirkan dari seorang ibu yang (anggap
saja) tergolong keluarga sederhana? Mengapa dilahirkan sebagai laki-laki atau
perempuan?, mengapa harus menangis ketika seorang bayi keluar dari rahim
ibunya?, mengapa tubuh manusia ada yang mengalami pertumbuhan atau bahkan tidak
terjadi hal itu. Hingga pertanyaan yang sangat menentukan arah dan tujuan hidup
manusia selanjutnya, seperti dari mana manusia berasal, untuk apa manusia
dilahirkan, dan akan kemana manusia setelah fase kematian.
Sayangnya
manusia tidaklah terlalu cerdas untuk bisa menjawab semua tanya itu bahkan
ketika usia terus berlalu. Meskipun tentu saja juga ada yang bisa dijawab
secara rasional dan memuaskan akal. Atau bisa jadi sebenarnya jawaban itu sudah
tertera jelas namun lagi-lagi “keluguan” yang ada pada diri manusia membuat
jawaban-jawaban itu serasa tak pernah ada. Berusaha mencari jawaban namun tak
pernah menemukan. Atau parahnya memang sama sekali tak ada niat untuk mencari
jawabnya.
Namun
kali ini saya tidak terlalu membahas secara mendalam tentang esensi, filosofi,
ataupun hal-hal lain seputar tanya. Tentu perlu waktu yang panjang serta
tulisan yang bisa jadi berpuluh-puluh atau bahkan ratusan halaman untuk
menuliskannya. Itupun belum bisa dikatakan sempurna. Membahas sebuah pertanyaan
kadang-kadang justru berkahir dengan pertanyaan lain.
Ketika
pertanyaan muncul dari seorang individu, setidak-tidaknya ada dua alasan.
Pertama muncul karena murni ketidaktahuan, dan kedua karena kepentingan. Alasan
kedua ini sebenarnya dapat dirincikan lagi seperti untuk menguji pengetahuan
seseorang, menggoyahkan hati dan fikiran orang lain, mengajak berdebat, ingin
mempermalukan salah satu pihak, iseng, menghabiskan waktu luang, dan lain-lain.
Adapun
alasan karena ketidaktahuan sehingga muncul sebuah pertanyaan, adalah sesuatu
yang wajar bahkan menjadi wajib dilakukan. Harus ditanyakan jika itu menyangkut
hal-hal penting untuk diketahui dalam hidup manusia. Ketidaktahuan yang
dipelihara selama bertahun-tahun tak ubahnya seperti melakukan investasi
keburukan di masa mendatang.
Meski
demikian, filter pada pertanyaan yang diajukan haruslah ada. Artinya tidak
semua tanya harus ditanyakan. Bagaimanapun sesuatu yang berlebihan tidaklah
baik. Ada pertanyaan yang harus kita cari sendiri jawabannya tanpa harus
pertanyaan itu terlontarkan. Harus diingat pula bahwa ada pertimbangan lain
saat mengajukan tanya seperti halnya situasi dan kondisi. Jika ada orang-orang
sedang berusaha keras memadamkan kebakaran, namun tiba-tiba ada seseorang yang
menanyakan bagaimana cara membuat kue bolu yang enak, apakah hal itu tepat
dilakukan. Meskipun itu ditanyakan karena ketidaktahuan dan bagi penanya penting
untuk mengetahuinya. Namun tetap saja salah karena “timing” yang tidak tepat.
Sebutan
orang yang “kepo” misalnya. Muncul karena serangkaian pertanyaan yang itu
ditujukan secara “ekstrim” kepada orang
lain dengan mengangkat tema yang harusnya bukan untuk dipublikasikan.
Katakanlah mereka benar-benar bertanya karena tidak tahu dan kemudian ingin
tahu, namun muncul pertanyaan; sepenting apakah mengetahui hal tersebut. Belum
lagi jika berhadapan dengan orang yang tertutup, antisipatif, dan tidak suka
dengan banyak tanya. Tidak menutup kemungkinan di situ akan terjadi konflik.
Belum
lagi jika berbicara mengenai orang yang “sok” kritis. Orang semacam ini
seringkali melemparkan pertanyaan yang tajam dan mendalam. Secara kasat mata,
terlihat “elegan” karena bisa menunjukkan bahwa penanya adalah orang yang
pemikir. Namun sangat disayangkan bahwa semua pertanyaan itu bisa saja sekadar
lalu. Seperti pepatah, “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri”. Itu terjadi
karena memang tujuannya hanya untuk mendapatkan kepuasan ketika orang lain
bungkam dengan pertanyaannya. Tipikal orang semacam ini seringkali membuat
kesal orang lain dan menyia-nyiakan kesempatan.
Lalu
bagaimana dengan orang yang bertanya, yang itu justru dapat melawan kebathilan.
Katakanlah ada seseorang yang difitnah salah padahal ia benar, lalu kemudian ia
menyodorkan pertanyaan pada orang-orang yang ia yakini berada di balik itu,
dengan pertanyaan yang pada akhirnya dapat membungkam orang tersebut. Apakah
itu salah? Menyikapinya tentu dengan mengembalikan pada konteks yang ada. Pertanyaan
memang bisa dibuat untuk melakukan serangan balik kepada orang lain. Di sinilah
tujuan memegang peran penting. Untuk apa hal itu dilakukan, apakah untuk
kebaikan atau keburukan. Dari situlah dapat dinilai kebenarannya.
Posisi
terpojokkan tidak selalu ada pada diri si penanya. Kadang kala, justru si
penerima pertanyaan juga menunjukkan tindakan-tindakan yang kurang tepat. Lebih
parah jika ada orang yang menawarkan agar orang lain bertanya, namun setelah
pertanyaan terlontar justru dijawab dengan jawaban yang membuat penanya malah
menjadi malu, takut, bahkan trauma.
Contoh
mudahnya misal di dalam kelas perkuliahan. Seorang dosen membuka sesi tanya
jawab kepada para mahasiswanya. Tak lama, salah seorang mahasiswa itu bertanya
dengan niat mencari tahu. Terbayang jika ternyata jawaban dosen sama sekali
tidak diduga dengan mengatakan, misalnya:
(a) “Ini
pertanyaan yang tidak berbobot sama sekali”
(b) “Kamu
ini mau bertanya atau apa?”
(c) “Orang yang bertanya seperti ini pasti malas
belajar”
(d) “Pertanyaan
ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam pola fikirmu”
(e) (dan
masih banyak lagi jawaban serupa bahkan lebih parah)
Jawaban-jawaban
yang muncul itu tentu saja sangat tidak diharapkan oleh si penanya. Apa jadinya
jika bukan jawaban, melainkan rasa malu yang ditanggungnya.
Dalam
hal inilah diperlukan kebijaksanaan dan kesadaran dalam menanggapi sebuah
pertanyaan. Tentu saja dalam konteks pertanyaan tersebut diajukan dalam rangka
mencari tahu, bukan sekadar iseng belaka apalagi pura-pura bodoh. Jika berada
dalam konteks ini, maka kurang pantas rasanya jika dijawab dengan amarah,
emosi, bahasa yang kasar, ataupun sampai menghina si penanya. Secara logika,
memangnya siapa yang ingin memelihara ketidaktahuan. Apa salahnya memberikan
jawaban yang proporsional. Toh, energi yang dikeluarkan akan sama saja. Setidaknya
bisa menjaga perasaan si penanya.
Memang
yang menjadi masalah selanjutnya adalah terjadinya bias antara orang yang
bertanya karena ketidaktahuan kemudian sungguh-sungguh ingin mencari tahu,
dengan orang yang bertanya untuk kepentingan, seperti yang disinggung
sebelumnya. Salah dalam menilai, maka akan salah pula dalam memberikan respon. Padahal
dua hal ini akan selalu ada. Bisa jadi kita juga pernah mengalaminya, baik
sebagai penanya ataupun penjawab, baik sebagai penanya karena rasa ingin tahu
ataupun sekadar kepentingan.
Lantas, apa yang sekarang bisa saya
lakukan? Oh tidak, saya sebenarnya tidak paham dengan tulisan di atas, memang
apa maksudnya?
Ah
sudahlah, memang tidak akan pernah habis membahasnya. Seperti yang saya katakan
di awal, membahas pertanyaan justru bisa berakhir dengan pertanyaan.
Semoga
tetap semangat menjalani hidup!!!
sumber gambar : pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar