Saat
membuat tulisan ini, suasana Kota Banjarmasin sedang hangat-hangat dingin.
Bukan perihal tahun politik yang kian meruncing antara pendukung “Ganti” atau
“Tetap”, tapi pergerakan mahasiswanya yang saya rasa kembali “bergairah”. Hari
ini tadi misalnya, saya mendapat informasi bahwa ada sekelompok mahasiswa yang
sedang menggelar aksi demonstrasi. Pun demikian beberapa minggu yang lalu juga
dengan aksi serupa bahkan lebih viral di mana-mana.
Kalau
boleh saya sebut, sekarang Banjarmasin sedang mengalami Musim Demo-selain musim
langsat, durian, rambutan, dan kawan-kawannya. Ya, belakangan mulai bermunculan
aksi-aksi demonstrasi yang dimotori oleh para mahasiswa. Mungkin Anda juga
boleh mentafsirkan mengapa saya menyebutnya “Musim”. Itu berarti yang sekarang
ini terjadi hanyalah sementara. Kadang-kadang ada, kadang-kadang sepi senyap.
Jika
sependapat, Anda boleh menebak-nebak penyebab kemunculan “musim” itu. Mungkin
Anda akan mengatakan jika mahasiswa sekarang telah kehilangan idealisme, lebih
sibuk dengan dunianya sendiri, hanya kebetulan cari sensasi, atau karena kultur
budaya “Papadaan” sehingga cukup diselesaikan dengan kekeluargaan. Sah-sah saja
semua pendapat itu.
Tapi
kali saya tidak mau terlalu jauh mencampuri atau membahas tentang mereka yang berdemonstrasi
di sana (selanjutnya saya singkat menjadi “demo” saja). Saya tak punya
kapasitas untuk hal itu. Juga tidak tahu menahu duduk permasalahan. Akan
berbahaya jika saya berani “ngomong” macam-macam. Bisa jadi hanya menambah
emosi dan memperkeruh suasana, iya kan?. Karena itu saya bahas hal lain saja
namun masih berkaitan.
Mendengar
istilah demo yang dilakukan oleh kawan-kawan saya--saya sebut kawan karena
mereka adalah mahasiswa sama seperti saya, saya jadi teringat dengan kalimat
yang dulu pernah dilontarkan seorang teman dalam sebuah forum. Dikatakannya
bahwa “untuk apa mahasiswa melakukan demo? Padahal mahasiswa bisa melakukan
aksi nyata yang lebih kreatif dan bermanfaat ketimbang demo di jalan raya.”
Kurang lebih demikian. Di sini saya ingin sedikit saja meluruskan pandangan
mengenai demo itu sendiri.
Ada
kesalahan ketika membenturkan antara demo dengan aksi nyata. Seolah-olah dua
hal tersebut amat bertentangan. Bukankah demo juga termasuk aksi nyata?
Melakukan pengkajian isu, diskusi, membuat spanduk, mobilisasi masa, turun ke
jalan, pidato dan orasi, dan sebagainya, apakah itu bukan aksi nyata? Coba
bandingkan dengan mereka yang hanya berdiam diri apalagi apatis? Mana yang
lebih berkontribusi melakukan aksi nyata? (maaf kalau ada yang tersinggung).
Selain
itu, demo adalah perwujudan kepedulian kepada keadaan masyarakat. Siapa yang tega
melihat orang-orang miskin terlantar begitu saja, anak-anak tidak bersekolah
dan berkeliaran di lampu merah, utang negara yang kian hari bertambah walaupun
katanya negeri ini amat KAYA, serta setumpuk masalah lainnya. Ya setidaknya
usaha mereka ini patut diapresiasi karena sudah menunjukkan kepedulian. Mereka
berusaha menyuarakan masalah yang terkadang saking lamanya tidak terselesaikan,
akhirnya dianggap biasa.
“Bicara kepedulian mulu. Harusnya
kalau peduli itu bantu langsung. Misal galang dana buat diberikan ke orang
miskin. Daripada demo cuma buang-buang energi dan uang,”
Saya
akan menjawab pertanyaan dari kelompok….(eeh maaf. Kebawa suasana diskusi
kuliah).
Jadi
gini ya, perlu saya tekankan terlebih dahulu untuk tidak membentur-benturkan
dua hal yang sebenarnya sama-sama tidak salah bahkan bisa dilakukan secara
beriringan. Mau demo sambil galang dana, juga bisa kan? Kalaupun tidak, juga
tidak masalah. Kenapa begitu? Saya kembali teringat, di sebuah forum diskusi,
Denny Siregar pernah berucap bahwa ia prihatin dengan aksi 212 yang sebenarnya
uang dari aksi tersebut bisa disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan-pernyataan
yang sama dengan yang di atas. Lalu kemudian dijawab Sujiwo Tedjo dengan telak
bahwa kehidupan ini begitu kompleks. Tentu saja tidak bisa kita menggunakan
kaidah logika dari bang Denny. Ya kalau begitu, berarti kita tidak usah
menggelar acara A, B, C, D, E…..Z karena lebih baik dananya disumbangkan saja.
Demo
juga merupakan bentuk sadar diri. Lho kok bisa? Iya bisa. Contoh sederhananya
begini. Saya ambil kasus lama seperti banyaknya tenaga kerjas asing yang masuk
ke Indonesia-termasuk yang bekerja sebagai buruh. Tentu urusan mengenai WNA
adalah tugas negara melalui lembaga negara yang ditunjuk. Tidak mungkin kalau
misalnya mahasiswa melakukan razia warga asing, terus menginterogasi,
memberikan peringatan, hingga mendeportasi. Aneh bin lucu kan jadinya? Karena
itu lewat demo, mereka berusaha mengingatkan yang punya wewenang untuk
memperhatikan tuntutan mereka demi kenyamanan bersama. Karena tidak mungkin
jika mahasiswa yang turun tangan. Sampai sini pahamkan ya???
Terakhir,
bahwasanya demo memiliki kekuatan dan daya tekan yang relatif tinggi. Kalau
kita flashback sebentar ke era 1998,
di mana kekuasaan absolut Soeharto akhirnya bisa tumbang setelah adanya
demonstrasi yang terus-terusan dilakukan berbagai macam pergerakan mahasiswa
secara sistematis dan militan. Contoh lain yang lebih baru seperti kasus
penistaan agama yang akhirnya baru bisa tercapai semua tuntutan ketika jutaan
orang turun ke jalan.
Oleh
karena itu, jangan pernah memandang sebelah mata sebuah aksi demo. Kita semua
juga pasti tahu, bahwa demo-demo besar bisa berawal demo kecil-kecilan. Saat
demo skala kecil, namun tiba-tiba misalnya beberapa orang ditangkap tanpa
alasan jelas atau yang lebih ektrim tiba-tiba digigit anjing petugas yang
sengaja dilepaskan, nah ini bisa menjadi pemantik gelombang demo selanjutnya.
Namun saya tak mengharapkan hal-hal semacam ini terjadi.
“Mentang-mentang mahasiswa, Anda
selalu membela demonya mahasiswa. Seolah-olah semua yang mereka lakukan adalah
benar,”
Baiklah,
saya mengerti maksud Anda. Karena itu, dalam tulisan ini saya juga sampaikan
saran saya kepada kawan-kawan mahasiswa yang akan melakukan demo. Yang paling
penting adalah tidak melakukan anarkisme. Ingat, benda-benda ataupun fasilitas
yang dirusak tersebut bisa jadi akan membawa dampak kurang baik kepada orang
lain. Belum lagi biaya ganti yang akan dikeluarkan. Uangnya tentu berasal dari
kantong kita sendiri yang disalurkan melalui pajak.
Saya
juga mewanti-wanti kawan-kawan semua agar tidak mudah terpancing emosi yang
berujung pengrusakan. Ingat, ketika hal itu terjadi, saya khawatir justru akan
menjadi serangan balik kepada aksi mahasiswa tersebut. Pada akhirnya orang akan
menarik kesimpulan bahwa mahasiswa melakukan demo yang tidak mencerminkan jati
diri mahasiswa. Kalau sudah begini, hilang sudah esensi dan tujuan demo yang
diharapkan termasuk tuntutan yang disampaikan. Kita harus mewaspadai
pemutarbalikan opini yang memang sudah biasa terjadi di negeri ini.
Terakhir,
jangan pernah lupa untuk melakukan pengkajian dan pendalaman isu yang ingin
diangkat atau disampaikan pada saat demo. Diskusi dengan orang yang ahli, tabayyun, dan musyawarah adalah
langkah-langkah spesifik yang mestinya dilakukan sebelum aksi demo itu
terselenggara. Jangan sampai tuntutan yang disampaikan justru tidak relevan
bahkan tidak tepat sasaran. Kejadian semacam ini pastinya kontras dengan
semangat intelektualitas mahasiswa.
Berkaitan
dengan pengkajian isu, cobalah untuk berfikir out of the box. Cari sampai ke akarnya apa penyebab sebenarnya dari
sebuah masalah yang mengemuka. Apakah hubungannya hanya dengan kepemimpinan,
kebijakan pemerintah, atau bahkan sistem yang sedang dianut. Semua itu bukanlah
hal tabu dan harus benar-benar ditelusuri-jika memang tujuannya untuk mencari
solusi.
Saya,
atau bahkan banyak masyarakat lainnya sangat tidak mengharapkan jika aksi-aksi
demo hanya dilakukan untuk mencari sensasi belaka apalagi sekadar menjalankan
program kerja organisasi misalnya. Kita semua ingin agar demo yang dilakukan
kawan-kawan mahasiswa memang membawa sebuah misi besar untuk perubahan bangsa
dengan dilandasi kepedulian untuk menyelesaikan semua problematika yang terjadi
di negeri ini.
Salam
Mahasiswa!!!
Di bawah kuasa tirani
Kususuri garis jalan ini
Berjuta kali turun aksi
Bagiku satu langkah pasti
(Buruh
Tani – Lagu Perjuangan Mahasiswa)
sumber gambar : pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar