Mengembalikan Toleransi Beragama di Ibu Kota, Apa dan Siapa? - Podium.com

Kamis, 23 November 2017

Mengembalikan Toleransi Beragama di Ibu Kota, Apa dan Siapa?


Entah kenapa hari itu saya mau meluangkan waktu untuk menonton televisi. Biasanya, saya lebih suka berhadapan dengan layar handphone ataupun laptop tiap harinya. Semenjak menjadi mahasiswa, menonton televisi seolah menjadi barang langka bagi saya. Kesibukan kuliah dan organisasi benar-benar membuat saya harus merencakan total semua hal yang harus dikerjakan dan tentunya memangkas habis hal-hal yang kurang produktif semisal menonton televisi yang memang cenderung menghabiskan banyak waktu.

Di salah satu tayangan pada televisi mainstream tersebut, ada sebuah tema acara yang menarik perhatian saya. “Mengembalikan Toleransi Beragama di Ibu Kota”, begitulah tema yang tertera disana. Saya kemudian mencoba untuk flashback sebentar. Mencoba mengingat kejadian-kejadian apa yang telah terjadi dan berhubungan dengan tema tersebut. Namun semakin saya memikirkannya, hanya kebingungan yang mengendap di benak saya. Ibu Kota rasanya aman-aman saja belakangan ini. Tidak ada aksi pembakaran ataupun pengeboman gereja, pengeroyokan etnis Tionghoa apalagi pengusiran umat Hindu dan Budha. Lantas apa dan siapa yang dimaksud tayanga televisi tersebut.

Saya coba menyimak lebih lanjut pembahasan di acara yang menghadirkan narasumber itu. Namun sayang saya lupa siapa beliau. Pembicaraan antara presenter dengan narasumber tersebut terus mengalir sambil diselingi dengan tayangan-tayangan lain. Pada saat penanyangan itulah, titik terang mulai saya temukan. Rupa-rupanya ada keterikatan dengan musim politik yang masih membekas. Saya hanya bisa tersenyum sebab tanda-tanda balas dendam dan pengalihan opini itu mulai dikampanyekan.

Melihat tayangan itu, sekilas saja, bagi orang awam pun sudah dapat mengetahui arah tujuan pembicaraan itu. Benar saja, semua pastinya masih terkait dengan kekalahan calgub petahana yang oleh mereka dianggap sebagai kekalahan tidak wajar. Jagoan mereka justru adalah pahlawan yang akhirnya kandas ditelan isu agama dan orang-orang yang menganut fanatisme. Kekuatan ummat yang berjilid-jilid akibat kesalahan fatal diri sendiri, nyatanya memang dapat membungkam semua cara dan rencana yang sudah disiapkan.

Penggunaan isu agama tersebutlah yang barangkali dianggap sebagai sebuah tindakan intoleransi di mata mereka. “Tuntut penista agama” dan “haram pemimpin kafir” adalah sebagian jargon-jargon yang dapat membuat tekanan darah semakin meningkat bahkan mungkin dianggap tindakan radikal. Padahal, persoalan ini terletak pada kemampuan mereka dalam memahami agama yang masih perlu diajari satu per satu.

Pemaknaan kata toleransi itu sendiri sepertinya masih ditafsirkan secara kasar dan hanya berdasar pada logika semata. Toleransi dianggap sebagai payung hukum terkuat yang akan membentengi diri dari serangan perbedaan mendasar pada diri manusia tanpa memahami hal-hal mendasar tersebut secara mendalam. Sehingga yang terjadi adalah penggunaan “senjata” toleransi yang tidak pada sasarannya.

Untuk dapat memahami langsung akar masalah ini, saya coba contohkan berdasarkan masalah yang terjadi. “Sakit hati abadi” yang dialami sebagian orang tersebut berasal dari idola mereka yang melakukan penistaan agama secara jelas dan meyakinkan di hadapan publik. Berita penistaan ini sangat cepat menyebar dan tentunya memicu reaksi yang cepat pula, bahkan lebih berdampak dari ajakan menolak pemimpin kafir.

Menyikapi masalah penistaan agama-hal mendasar dalam diri manusia- ini tentu tak akan selesai di “meja toleransi” saja. Agama yang dijunjung tinggi oleh semua pemeluknya lalu tiba-tiba dilecehkan bahkan dihina oleh pihak lain yang berseberangan, pastinya akan menyulut ketidakterimaan sekalipun itu terjadi pada ummat-ummat lainnya. Tak perlu heran, jika gelombang penuntutan semakin menggema. Penuntutan ini jelas tidak bisa dikatakan sebagai bentuk intoleransi.

Begitupun dengan ajakan menolak pemimpin kafir tidak bisa serta merta dikatakan sebagai bentuk intoleransi umat Islam terhadap agama lain. Hal tersebut bersumber dari Al-Quran-meskipun terjadi perbedaan dalam hal penafsiran- sebagai sumber utama ajaran Islam  dan wajib diyakini oleh semua muslim yang taat. Selagi tidak ada unsur-unsur kekerasan di dalam pelaksanannya, maka sekali lagi tidak bisa dikatakan sebagai bentuk intoleransi. Justru kalau dibalik, harusnya pihak sanalah yang toleransi dengan ajaran Islam yang telah digariskan demikian dan tidak boleh sakit hati apalagi menyimpan dendam sampai mati.

Yang wajib digarisbawahi bahwa toleransi hanya ada pada tataran kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam sendiri juga dikenal konsep toleransi yang mana lebih menitikberatkan pada membiarkan orang-orang non muslim melakukan ritual agama ataupun merayakan hari rayanya dan tidak boleh diusik sedikitpun. Islam juga sama sekali tidak melarang umat Muslim untuk berhubungan baik dengan non muslim, malah menganjurkannya seperti misalnya tolong menolong, menjalin hubungan kekerabatan, bekerjasama dalam urusan pekerjaan dan sebagainya.

Di dalam Al-Quran sendiri dikatakan, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang zalim,” (Q.S. Al-Mumtahanah: 8-9). Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa setiap muslim hendaknya berbuat baik kepada orang lain(termasuk non muslim) selama ia tidak berkaitan dengan agama (memerangi atau mengusir umat Islam)

Toleransi tidak berlaku pada ranah aqidah karena aqidah tak dapat ditawar-tawar. Orang-orang yang menghina Al-Quran padahal Al-Quran adalah kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam dan diyakini kebenarannya, maka wajar jika umat muslim meradang. Hal inipun sebenarnya juga akan berlaku bagi umat manapun tatkala kitab sucinya dihina.

Pada masanya orang-orang yang berasal dari kafir Quraisy pernah berkata kepada Nabi. “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian(muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14:425). Dalam hal ini Nabi dengan keras menolaknya karena bertentangan dengan aqidah Islam.

Sampai hari ini ibu kota Jakarta masih baik-baik saja. Kedekatan ummat Masjid Istiqlal dan jemaat Gereja Katedral yang dianggap sebagai simbol toleransi beragama, nyatanya masih terawat dengan baik. Begitupun dengan pemeluk agama dan rumah ibadah lainnya. Lantas, toleransi macam apa lagi yang harus dikembalikan. Wallahu a’lam bisshawab.

sumber gambar : WAG

1 komentar:

  1. Selama tidak ada bentuk kepastian dalam indikator pemimpin yang baik antara negara dan agama, maka hal seperti ini bisa saja akan terulang kembali,
    2 hal yang hampir sama, tetapi sangat berbeda, yaitu hukum negara dan hukum agama, nah lo kenapa berbeda, bukan nya dalam hukum negara pun ada yang diadopsi dari hukum agama? Iya memang betul, tapi itu sebagian, kita tidak bisa cuman berpatokan kepada yang sebagian itu, sedangkan satu hukum dengan hukum yang lain nya, saling berkaitan erat, terus harus bagaimana?
    Banyak hal yang rumit untuk disampaikan, karena benar yang kita sampaikan, bukan berarti orang lain akan menerima dengan pemahaman yang sama, hal ini lah yang banyak menyebabkan bentrok

    BalasHapus