Perayaan natal bagi umat
Kristiani pada 25 Desember 2017 telah berlalu. Seperti biasanya, perayaan natal
kali ini berjalan lancar dan tanpa gangguan sebagaimana yang diharapkan semua
pihak. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran aktif pihak pemerintah, aparat
keamanan dan masyarakat.
Meski Natal sudah berlalu, namun
ada yang menarik dari setiap perayaan-perayaan natal khususnya di Indonesia.
Bukan karena hadirnya pohon natal dengan gemerlap lampu-lampunya yang indah
atau orang-orang yang menyerupai Sinter Klas, melainkan rasa toleransi umat
beragama yang bagi sebagian orang dirasa hadir kembali. Meski dibalik semua
itu, juga ada terselip rasa kekhawatiran.
Tak hanya dari pihak kepolisian
yang menjaga gereja untuk perayaan natal, tetapi juga dari berbagai elemen
masyarakat yang memang didominasi orang Islam. Mereka ada yang hadir atas nama
kelompok, organisasi kemasyarakatan (Ormas), hingga anak-anak pramuka. Mengambil
dari bbc.com, pihak Banser Nahdlatul Ulama bahkan menerjunkan sekitar dua juta
personilnya untuk menjaga gereja-gereja selama perayaan Natal di seluruh
Indonesia. Tak heran jika di halaman gereja bisa ditemui orang-orang yang
berpeci atau berjilbab yang “stand by” disana. Tugas mereka tentu untuk menjaga
keamanan dan ketertiban pada saat perayaan.
Pemandangan semacam ini memang
telah lama ada dan bisa dinilai sebagai bentuk toleransi yang sangat baik
selagi tidak melanggar aturan aqidah yang berlaku. Adanya pihak “mayoritas”
yang menjaga ritual agama “minoritas” ini, seolah ingin menyangkal segala macam
tuduhan intoleransi yang selama ini seringkali ditujukan kepada “kelompok
mayoritas”. Kehadiran “kelompok mayoritas” seperti juga ingin menegaskan bahwa
“kelompok mayoritas” tak pernah memaksakan kepercayaannya dan tetap menjaga
hubungan baik dengan umat-umat lainnya sebagaimana telah dijamin dalam
konstitusi negara.
Melihat pemandangan semacam ini,
saya justru teringat sesuatu. Berawal dari seorang teman yang dulu pernah berkata
kurang lebih seperti ini; “Selama gereja-gereja masih dijaga, itu berarti
keberagaman umat beragama masih menjadi tanya”. Awalnya saya tak terlalu
memahami maksud dan tujuannya. Hingga akhirnya saya mendapatkan satu kesimpulan
pribadi.
Pernyataan teman saya tersebut
saya nilai berangkat dari rasa kekhawatiran bahkan ketakutan terhadap
keberagaman beragama di Indonesia. Kekhawatiran itu yang kemudian diwujudkan,
baik oleh pemerintah ataupun masyarakat dengan pengerahan pasukan keamanan dalam
jumlah tertentu. Kita tentu masih ingat ancaman ataupun teror-teror yang
bermunculan terutama ketika mendekati perayaan hari-hari besar keagamaan.
Memori kelam semacam itulah yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak. Tentu
sudah menjadi rahasia umum terkait motif dari setiap ancaman atau teror yang
datang.
Dikutip dari tribunnews.com,
menjelang Natal, aparat gabungan TNI dan Polisi melakukan penyisiran dan
penjagaan pada sedikitnya 355 gereja yang ada di Surabaya. Tak tanggung-tanggung,
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kapolrestabes Surabaya, Kapolres Tanjung
Perak Surabaya dan Danrem 084 Bhaskara Jaya, memimpin langsung sterilisasi di
Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria Surabaya. Kapolrestabes Surabaya
Kombes Pol Rudi Setiawan mengatakan bahwa mereka melakukan patroli keamanan dan
sterilisasi gereja sebagai bentuk kesolidan mereka serta agar ibadah Natal
terbebas dari ancaman teror bom.
Kalau kita teliti, dari kegiatan
dan pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kekhawatiran akan
keberlangsungan perayaan Hari Besar umat beragama, masih ada bahkan cenderung
tinggi. Teori fisika mengatakan bahwa setiap reaksi yang terjadi selalu diawali
karena adanya sebuah Aksi. Dalam hal ini bisa kita analogikan secara sederhana
dimana Aksi tersebut adalah berupa ancaman dan teror bom. Sedangkan Reaksinya
adalah antisipasi ataupun penjagaan di tempat yang cenderung terjadi Aksi. Semakin
besar Aksi maka akan semakin besar pula Reaksi yang ditimbulkan. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas dalam
wawancaranya dengan bbc.com. Ia mengatakan bahwa penjagaan mulai meningkat
setelah munculnya berbagai ancaman pengoboman pada awal tahun 2000-an.
Saya berfikiran seperti ini, seandainya
rasa kekhawatiran itu tidak ada, maka tidak perlu lagi ada sterilisasi dan
penjagaan pada tempat-tempat ibadah tersebut. Tidak akan ada juga orang yang
menghalangi atau merusak kekhidmatan perayaan, tidak ada ancaman teror bom dan
sebagainya. Keberadaan pihak aparat keamanan lebih kepada pengaturan arus lalu
lintas saja, bukan karena antisipasi hal-hal buruk tersebut.
Sebagaimana ketika umat Islam
melaksanakan solat Idul Fitri misalnya, maka tidak kita dapati ada pengerahan
aparat keamanan ataupun pemeriksaan tempat semacamnya. Paling-paling sebatas
penjagaan ketertiban karena jumlah jamaah yang tumpah ruah. Tentu, karena
selama ini memang tak ada masalah ataupun kekhawatiran pada perayaan tersebut.
Begitu pula dengan penjagaan
gereja dari sebagian kelompok orang Islam. Jika seandainya selama ini kehidupan
antar umat beragama rukun-rukun saja, maka tidak perlu ada penjagaan semacam
itu lagi. Toh, faktanya selama ini
kita memang baik-baik saja sehingga tidak perlu ada penegasan kembali kerukunan
umat beragama yang diwujudkan dengan-lagi-lagi, pihak “mayoritas” menjaga “minoritas”.
Belakangan ini, isu intoleransi
beragama seperti berkobar kembali. Di dalam Islam sendiri, sebenarnya sudah
jelas batasan-batasan toleransi sehingga tidak perlu lagi ada perdebatan dan
semacamnya. Dalam perkara duniawi, kita semua adalah saudara yang saling
mengasihi. Hanya saja, dalam urusan aqidah, disini tak ada kompromi. Untuk
itulah, ada baiknya jika kita kembali membuka Alquran, membaca kitab-kitab atau
buku keislamanan lainnya, datang ke rumah-rumah para alim ulama ataupun hadir
di majlis-majlis. Semua itu agar kita dapat memahami seutuhnya hakikat
toleransi.
Akan tetapi disini saya bukan
bermaksud bahwa gereja ataupun tempat-tempat beribadah lainnya tidak perlu
dijaga. Namun hal ini bisa menjadi bahan perenungan kita bersama. Jika
penjagaan tersebut murni hanya untuk menjaga ketertiban, maka patut kita
syukuri. Akan tetapi jika memang penjagaan tersebut dilandasi adanya rasa
kekhawatiran dan ketakutan, disinilah muncul sebuah tanya; Apakah selama ini
keberagaman beragama kita sudah terjaga atau hanya menjadi retorika. Wallahu a’lam bisshawab.
sumber gambar : republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar