Ada Apa Dengan Gereja - Podium.com

Sabtu, 06 Januari 2018

Ada Apa Dengan Gereja


Perayaan natal bagi umat Kristiani pada 25 Desember 2017 telah berlalu. Seperti biasanya, perayaan natal kali ini berjalan lancar dan tanpa gangguan sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran aktif pihak pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat.

Meski Natal sudah berlalu, namun ada yang menarik dari setiap perayaan-perayaan natal khususnya di Indonesia. Bukan karena hadirnya pohon natal dengan gemerlap lampu-lampunya yang indah atau orang-orang yang menyerupai Sinter Klas, melainkan rasa toleransi umat beragama yang bagi sebagian orang dirasa hadir kembali. Meski dibalik semua itu, juga ada terselip rasa kekhawatiran.

Tak hanya dari pihak kepolisian yang menjaga gereja untuk perayaan natal, tetapi juga dari berbagai elemen masyarakat yang memang didominasi orang Islam. Mereka ada yang hadir atas nama kelompok, organisasi kemasyarakatan (Ormas), hingga anak-anak pramuka. Mengambil dari bbc.com, pihak Banser Nahdlatul Ulama bahkan menerjunkan sekitar dua juta personilnya untuk menjaga gereja-gereja selama perayaan Natal di seluruh Indonesia. Tak heran jika di halaman gereja bisa ditemui orang-orang yang berpeci atau berjilbab yang “stand by” disana. Tugas mereka tentu untuk menjaga keamanan dan ketertiban pada saat perayaan.

Pemandangan semacam ini memang telah lama ada dan bisa dinilai sebagai bentuk toleransi yang sangat baik selagi tidak melanggar aturan aqidah yang berlaku. Adanya pihak “mayoritas” yang menjaga ritual agama “minoritas” ini, seolah ingin menyangkal segala macam tuduhan intoleransi yang selama ini seringkali ditujukan kepada “kelompok mayoritas”. Kehadiran “kelompok mayoritas” seperti juga ingin menegaskan bahwa “kelompok mayoritas” tak pernah memaksakan kepercayaannya dan tetap menjaga hubungan baik dengan umat-umat lainnya sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi negara.

Melihat pemandangan semacam ini, saya justru teringat sesuatu. Berawal dari seorang teman yang dulu pernah berkata kurang lebih seperti ini; “Selama gereja-gereja masih dijaga, itu berarti keberagaman umat beragama masih menjadi tanya”. Awalnya saya tak terlalu memahami maksud dan tujuannya. Hingga akhirnya saya mendapatkan satu kesimpulan pribadi.

Pernyataan teman saya tersebut saya nilai berangkat dari rasa kekhawatiran bahkan ketakutan terhadap keberagaman beragama di Indonesia. Kekhawatiran itu yang kemudian diwujudkan, baik oleh pemerintah ataupun masyarakat dengan pengerahan pasukan keamanan dalam jumlah tertentu. Kita tentu masih ingat ancaman ataupun teror-teror yang bermunculan terutama ketika mendekati perayaan hari-hari besar keagamaan. Memori kelam semacam itulah yang menjadi kekhawatiran sejumlah pihak. Tentu sudah menjadi rahasia umum terkait motif dari setiap ancaman atau teror yang datang.

Dikutip dari tribunnews.com, menjelang Natal, aparat gabungan TNI dan Polisi melakukan penyisiran dan penjagaan pada sedikitnya 355 gereja yang ada di Surabaya. Tak tanggung-tanggung, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kapolrestabes Surabaya, Kapolres Tanjung Perak Surabaya dan Danrem 084 Bhaskara Jaya, memimpin langsung sterilisasi di Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria Surabaya. Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan mengatakan bahwa mereka melakukan patroli keamanan dan sterilisasi gereja sebagai bentuk kesolidan mereka serta agar ibadah Natal terbebas dari ancaman teror bom.

Kalau kita teliti, dari kegiatan dan pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kekhawatiran akan keberlangsungan perayaan Hari Besar umat beragama, masih ada bahkan cenderung tinggi. Teori fisika mengatakan bahwa setiap reaksi yang terjadi selalu diawali karena adanya sebuah Aksi. Dalam hal ini bisa kita analogikan secara sederhana dimana Aksi tersebut adalah berupa ancaman dan teror bom. Sedangkan Reaksinya adalah antisipasi ataupun penjagaan di tempat yang cenderung terjadi Aksi. Semakin besar Aksi maka akan semakin besar pula Reaksi yang ditimbulkan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas dalam wawancaranya dengan bbc.com. Ia mengatakan bahwa penjagaan mulai meningkat setelah munculnya berbagai ancaman pengoboman pada awal tahun 2000-an.

Saya berfikiran seperti ini, seandainya rasa kekhawatiran itu tidak ada, maka tidak perlu lagi ada sterilisasi dan penjagaan pada tempat-tempat ibadah tersebut. Tidak akan ada juga orang yang menghalangi atau merusak kekhidmatan perayaan, tidak ada ancaman teror bom dan sebagainya. Keberadaan pihak aparat keamanan lebih kepada pengaturan arus lalu lintas saja, bukan karena antisipasi hal-hal buruk tersebut.

Sebagaimana ketika umat Islam melaksanakan solat Idul Fitri misalnya, maka tidak kita dapati ada pengerahan aparat keamanan ataupun pemeriksaan tempat semacamnya. Paling-paling sebatas penjagaan ketertiban karena jumlah jamaah yang tumpah ruah. Tentu, karena selama ini memang tak ada masalah ataupun kekhawatiran pada perayaan tersebut.

Begitu pula dengan penjagaan gereja dari sebagian kelompok orang Islam. Jika seandainya selama ini kehidupan antar umat beragama rukun-rukun saja, maka tidak perlu ada penjagaan semacam itu lagi. Toh, faktanya selama ini kita memang baik-baik saja sehingga tidak perlu ada penegasan kembali kerukunan umat beragama yang diwujudkan dengan-lagi-lagi, pihak “mayoritas” menjaga “minoritas”.

Belakangan ini, isu intoleransi beragama seperti berkobar kembali. Di dalam Islam sendiri, sebenarnya sudah jelas batasan-batasan toleransi sehingga tidak perlu lagi ada perdebatan dan semacamnya. Dalam perkara duniawi, kita semua adalah saudara yang saling mengasihi. Hanya saja, dalam urusan aqidah, disini tak ada kompromi. Untuk itulah, ada baiknya jika kita kembali membuka Alquran, membaca kitab-kitab atau buku keislamanan lainnya, datang ke rumah-rumah para alim ulama ataupun hadir di majlis-majlis. Semua itu agar kita dapat memahami seutuhnya hakikat toleransi.

Akan tetapi disini saya bukan bermaksud bahwa gereja ataupun tempat-tempat beribadah lainnya tidak perlu dijaga. Namun hal ini bisa menjadi bahan perenungan kita bersama. Jika penjagaan tersebut murni hanya untuk menjaga ketertiban, maka patut kita syukuri. Akan tetapi jika memang penjagaan tersebut dilandasi adanya rasa kekhawatiran dan ketakutan, disinilah muncul sebuah tanya; Apakah selama ini keberagaman beragama kita sudah terjaga atau hanya menjadi retorika. Wallahu a’lam bisshawab.

sumber gambar : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar