Polemik UKT dan Cengkraman Bangsa Asing - Podium.com

Sabtu, 12 Agustus 2017

Polemik UKT dan Cengkraman Bangsa Asing


Beberapa waktu yang lalu, di kampus saya terjadi sebuah aksi demo dari mahasiswa. Mereka menamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa Peduli UKT. Sesuai dengan namanya, tujuan utama mereka adalah agar pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) dapat diturunkan. Selain itu mereka juga menuntut transparansi UKT. Menurut penilaian mereka, selama ini UKT terlalu memberatkan bahkan dianggap lebih mahal daripada sistem pembayaran sebelumnya.
          
Saya sendiri tak terlalu tertarik untuk mengikuti demo itu meski sebelumnya ada seruan untuk mengikuti aksi tersebut. Kebetulan pula waktu itu saya sedang “Pulang Kampung”. Meski begitu, saya tetap mengikuti proses demo melalui line grup, official line, instagram dan sebagainya. Aksi semacam itu tentunya banyak mencuri perhatian sehingga tidak sulit untuk mendapatkan banyak informasi.
        
Para pendemo kemudian menggelar audiensi dengan pihak kampus. Audiensi dilakukan di aula rektorat dan dihadiri beberapa petinggi kampus. Para pendemo yang merupakan mahasiswa tadi terlihat duduk di kursi yang telah disiapkan. Karena saya tidak ikut dalam aksi tersebut, tentu saya tak mengetahui apa saja yang dibicarakan. Apakah ada debat antara mahasiswa dengan pihak kampus atau mungkin seperti suasana perkuliahan?
        
Beberapa hari setelah itu, terbitlah surat keputusan (SK) dari Rektor. SK tersebut kemudian viral dikalangan mahasiswa sebab memang disebarluaskan melalui media sosial. Saya pribadi ketika membaca SK itu tak terlalu mengerti apa maksudnya. Saya baca berulang-ulang dan bertanya kiri kanan, hingga akhirnya saya menemui titik terang: UKT DITURUNKAN.
      
Akan tetapi saya tak langsung gembira begitu saja. Sebab, yang diturunkan UKTnya hanyalah mahasiswa semester sembilan dan yang memenuhi persyaratan. Bagi saya ini sedikit “lucu”. Bukankah memang sejak dahulu kalau mau menurunkan UKT memang harus mengurusnya terlebih dahulu dan dengan beberapa persyaratan. Paling-paling mahasiswa semester sembilan yang bisa bernafas lebih lega. Lantas, SK apalagi itu?. Apakah SK tersebut hanya penegasan kembali atau sebagai pelipur lara mahasiswa saja. Tapi entahlah. Saya memang “bodoh” dalam hal ini.
          
Berbicara mengenai UKT, memang lebih banyak rasa pahit yang dirasakan dari tiga huruf ini. Saya punya beberapa orang teman yang selama ini mengeluh mengenai UKT karena terlalu membebani. Wajar saja jika mereka mengeluh apalagi jika ditambah dengan biaya hidup di tanah rantau. Pastinya biaya akan semakin membengkak.
       
Saya sendiri sebenarnya merasa keberatan dengan bayaran UKT saya sekarang ini, terlebih saya masuk dengan jalur SNMPTN yang katanya murah. Gajih orang tua saya sekitar Rp1.500.000 sedangkan bayaran UKT saya mencapai Rp3.500.000 per semester (6 bulan). Jika dibagi per bulannya, maka saya harus membayar sekitar Rp580.000. Bandingkan dengan gajih ayah saya yang sekitar Rp1.500.000 kemudian dipotong UKT. Berapa sisanya? Kemudian dipotong lagi dengan biaya hidup saya (bayar kos yang mencapai Rp400.000, makan 3 kali sehari, BBM, kuota internet, beli setumpuk buku, beli baju organisasi, parkir tiap hari, dsb), biaya adik saya sekolah, bayar listrik (yang naik terus), bayar air dan untuk makan keluarga sehari-hari. Berapakah sisanya?. Tapi sudahlah, tak perlu difikirkan. Saya hanya percaya kalau rezeki telah ditetapkan oleh Allah.

Pernah dulu saya ingin mengurus UKT tersebut agar dapat diturunkan, akan tetapi orang tua saya tidak menganjurkan karena takut kalau-kalau saya akan terkena “masalah”. Saya juga tak tahu masalah bagaimana yang dimaksud orang tua saya. Memang ada sebuah isu yang waktu awal saya masuk kuliah berembus kencang, yakni mengurus penurunan UKT harus siap dengan para staff yang tidak ramah, urusan dibuat berbelit-belit dan waktu yang lama. Namun saya tak tahu pasti apakah isu itu benar atau mitos belaka.
            
Lebih jauh berbicara mengenai pendidikan. Sudah seharusnya memang penyelenggaraan pendidikan bersifat terjangkau bahkan tanpa pungutan alias gratis. Sebagaimana tujuan mulia negara ini yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, salah satunya berbunyi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa jika sekolah/kuliah saja harus dihantui dengan biaya yang tinggi?
          
Tidak mengherankan jika kemudian mahasiswa mengadakan aksi demo menuntut penurunan UKT. Bahkan yang saya dengar, tak hanya di kampus saya saja, tetapi di kampus lain juga terjadi gelombang penurunan UKT yang sama. Hal ini tentu menjadi sebuah keprihatinan kita bersama. Belum lagi jika kita menyinggung masalah terkait pungli di instansi pendidikan, ruang kelas yang terbatas, akses menuju sekolah yang sulit hingga kerusakan moral para pelajar/mahasiswa. Semua itu semakin menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita sedang carut marut.
          
Saya sedikit bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pihak kampus ketika terjadi demo semacam itu. Dalam hati, tentu mereka ingin sekali menurunkan biaya UKT agar dapat dijangkau semua mahasiswa. Namun disisi lain, mereka juga harus mendapatkan pemasukan yang besar untuk membiayai berbagai macam pengeluaran sehingga kegiatan perkuliahan dapat terus berjalan. Meski kampus bukanlah sebuah bisnis, namun tetap saja, pendapatan harus lebih besar dari pengeluaran. Begitu kira-kira.
         
Dari sini sudah dapat kita tarik benang merah permasalahnnya, yakni kekurangan dana pendidikan. Jika seandainya dana pendidikan yang diberikan dalam jumlah sangat besar, bukan tidak mungkin jika biaya sekolah/kuliah menjadi murah bahkan dapat digratiskan seperti harapan seluruh rakyat Indonesia umumnya.

Selama ini pemerintah memang telah menganggarkan dana yang besar untuk pos Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi selaku pemegang kendali semua perguruan tinggi. Meski begitu, dana tersebut masih kurang sebab jika dibagikan kepada semua sekolah dan kampus yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu akan menjadi sedikit porsinya. Belum lagi jika suatu saat pemasukan negara sedang melambat, bukan tidak mungkin akan terjadi pemangkasan anggaran ditiap-tiap kementerian. Belum lagi jika menyinggung mengenai kebocoran anggaran pendidikan.
         
Sebenarnya Indonesia memiliki sumber pendapatan negara yang sangat luar biasa besarnya. Apalagi kalau bukan dari sektor sumber daya alam. Sejak di bangku sekolah dasar tentu kita sudah “didoktrin” bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya dan gemah rimah loh jinawi. Sebutkan saja semua jenis barang tambang, maka sudah pasti tambang tersebut dapat ditemui di Indonesia.
           
Kekayaan alam Indonesia tak hanya dibidang tambang saja, tetapi sumber daya alam lainnya meliputi perkebunan, pertanian, kelautan, pariwisata alam dan sebagainya. Semua itu merupakan potensi yang sangat besar dalam menyumbangkan pendapatan negara. Sayangnya, negara kita hingga saat ini masih belum bisa menjadi negara maju bahkan terus menumpuk utangnya. Salah satunya akibat kegagalan dalam mengelola SDA dan penerapan kapitalismeserta liberalisme.
           
Bukan lagi menjadi sebuah aib mengenai sumber daya alam kita yang sebagian besar dikuasai oleh asing. Bagaimana megahnya PT Freport dengan harta karun emas yang terkandung di dalamnya, namun masih berbendera Amerika. Begitu pun dengan PT. Chevron Pasific, PT. Newmont, PetroChina, Conoco Philips dan masih banyak lagi yang selama ini mengeruk kekayaan alam, baik yang tersimpan di daratan maupun lautan.
            
Dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 2 jelas tertulis bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Kemudian dalam pasal yang sama yakni ayat 3 dikatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya DIKUASAI oleh NEGARA dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pertanyaannya, apakah peraturan itu sudah dilaksanakan? Mungkin kita sudah punya jawabannya sendiri.

Polemik UKT hanyalah segelintir permasalahan yang membelit negeri ini. Juga sebagai dampak tidak langsung dari kekayaan alam yang dikuasai oleh rakyat asing yang selama ini tidur nyenyak di Indonesia. Mereka setiap hari mendapatkan uang dari tanah kita, sedang kita sang pemilik tanah setiap hari hanya adu mulut dan adu jotos untuk hal-hal yang tidak dimengerti. Hal inilah yang juga mendasari mengapa saya tidak terlalu tertarik ikut aksi demikian. Bukan berarti saya sok pahlawan, paling benar, menolak dan tidak setuju dengan aksinya, melainkan musuh kita yang sebenarnya adalah “MEREKA…!!!”. Wallahu alam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar