Tergelitik
ketika ada beberapa orang yang barangkali sejak kemunculan Aksi Bela Islam
sudah merasa “Kepanasan”, kemudian menuliskan sesuatu yang agak “ngawur”
setelahnya. Mereka mengait-ngaitkan aksi tersebut dengan kasus First Travel
yang sekarang ini heboh bukan main. Bahkan, hampir setiap hari media cetak
ataupun online memberitakan tentang kasus tersebut.
Dalam
pandangannya, mereka mengeluhkan mengapa seorang pejabat yang berinisial BTP
harus didemo dengan jumlah massa yang luar biasa dahsyat dan di luar perkiraan
manusia normal. Padahal BTP adalah pejabat yang sangat pro rakyat, pekerja
keras, tegas dan revolusioner. Pernyataan yang dikerluarkan BTP pun sebenarnya
hanya melawan kampanye-kampanye agama yang menyerang dirinya. Lantas, mengapa kasus
First Travel yang merupakan korupsi besar-besaran dana umat tidak didemo.
Berbicara kasus
First Travel, memang kasus ini adalah masalah yang amat mengejutkan sekaligus
memilukan. Bagaimana mungkin sepasang suami isteri bisa bekerjasama dengan baik
dan seolah tak merasa bersalah melakukan perbuatan yang amat keji dan melukai
hati puluhan ribu orang. Banyak dugaan pula yang berkembang bahwa kehidupan
glamor pasangan tersebut berasal dari uang nasabahnya sendiri.
(liputan6.com)
Saya sendiri
marah dengan perbuatan mereka itu. Terlebih ketika saya menyaksikan langsung
bagaimana mewahnya sebuah rumah yang dihuni suami isteri tersebut. Waktu itu
kebetulan ada sebuah acara di televisi yang menayangkan dan memperincikan
aset-aset kekayaan pelaku. Saya tak habis fikir, mengapa mereka bisa senekat
itu merampas dana haji. Mencari uang untuk berhaji tentu tak semua orang
gampang meraihnya. Bahkan ada yang harus menabung puluhan tahun agar terkumpul
uang berhaji. Sekarang, uang mereka lenyap dan tak tahu kemana rimbanya. Bisa
kita bayangkan sendiri bagaimana perasaan para nasabahnya.
Menindaklanjuti
mereka yang tadi kebakaran jenggot dengan aksi-aksi demo tersebut, yang bahkan
menyebut 411 dan 212-nama Aksi Bela Islam waktu itu- sebagai nomor togel, perlu
saya jelaskan perbedaan kedua kasus ini.
(news.okezon.com)
Pertama, kedua
kasus ini memiliki akar masalah yang berbeda. Jika BTP melakukan penistaan
agama di depan umum dan semua bukti sudah jelas, berbeda dengan First Travel
yang tidak terkait dengan penistaan agama. Memang benar yang para pelaku First
Travel lakukan adalah tindak kejahatan luar biasa, namun tidak bermaksud
menghina, menjelekkan atau menyerang langsung pada suatu agama. Kasus mereka
lebih pada kerakusan dan gaya hidup yang tidak dibenarkan dalam Islam
(hedonis).
Kedua, BTP
merupakan seorang kepala daerah. Tentu sangat berbeda dengan pelaku First
Travel yang mungkin hanya diketahui oleh para nasabahnya dan sebagian
masyarakat. Tindak tanduk seorang kepala daerah tentu tak boleh sembarangan
terutama dalam hal ucapan karena ia merupakan cerminan dari masyarakatnya. Meskipun
ia bagus dalam kepemimpinan namun jangan dilupakan esensi dari seorang pemimpin
masyarakat. Ingat pepatah yang mengatakan bahwa lidah lebih tajam dari pedang.
Saya tahu, di
luar sana ada banyak sekali orang-orang yang menghina Islam secara
terang-terangan, akan tetapi mereka “bukan siapa-siapa”. Jika semua
penista/penghina agama tersebut harus di demo, barangkali setiap hari akan
dihiasi dengan aksi demo. Tentu hal ini tidak mungkin dan ingin kita hindari.
Adanya kepala daerah yang menistakan agama tertentu, dikhawatirkan jika kepala
daerah tersebut akan berbuat diskriminasi dan intimidasi kepada agama tertentu.
Ketiga,
lambannya pihak aparat penegak hukum memproses masalah BTP yang krusial ini
sehingga yang muncul ke permukaan adalah opini bahwa pihak penegak hukum
terkesan melindungi pelaku. Hal ini semakin memperkeruh suasana. Puncaknya
ketika Aksi Bela Islam 212, barulah pihak kepolisian memberikan kepastian
proses hukum. Jika seandainya masalah ini direspon dengan baik ketika di awal,
barangkali tak akan sebesar ini. Bandingkan dengan pelaku First Travel yang tak
perlu menunggu lama untuk ditindaklanjuti bahkan dilakukan penangkapan dan
penyitaan.
Keempat, pernyataan
yang mengatakan bahwa BTP didemo akibat perbedaan agama, saya kira tak ada
salahnya. Hal ini juga menjadi salah satu penyebabnya. Saya berikan analogi
sederhana. Jika ada seorang warga negara Indonesia yang mengatakan bahwa
Indonesia adalah negara miskin, bodoh dan terkebelakang. Apa yang kita
rasakan?. Dan bagaimana jika pernyataan itu keluar dari mulut seorang warga
negara lain dan disebarkan ke ranah publik?. Saya yakin Anda akan memiliki
tingkat kekesalan yang berbeda.
Kelima, adanya
agenda politik yang komplek. Tidak bisa ditampik bahwa kehadiran unsur politis
dan aktor-aktornya turut berkontribusi terhadap kasus BTP. Siapa dan apa yang
telah dilakukan, tentunya hanya mereka saja yang mengetahui. Akan tetapi, tetap
tidak bisa divonis bahwa aksi demonstrasi tersebut digerakkan oleh politik
semata. Masih banyak orang-orang yang datang karena merasa terpanggil dan mampu
secara fisik. Lalu bagaimana dengan First Travel. Apakah ada unsur politik
disana?. Kalaupun ada, lalu politik macam apa yang menghampiri mereka?. Apakah
pelakunya ingin mencalon kepala daerah? sepertinya tidak.
Tentu saja, asap
tak akan muncul jika tak ada api. Asap yang besar adalah hasil dari api yang
juga besar. Begitupun dengan aksi demonstrasi yang besar, terjadi akibat adanya
rentetan permasalahan yang dibiarkan kemudian terakumulasi dengan
penyebab-penyebab lainnya. Selain itu, tidak adil jika kita membandingkan
sebuah kasus dengan kasus lainnya yang memiliki level berbeda. So, jadilah orang yang bijak. Pahami
sebelum bertindak. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar