Saat itu saya
sedang berada di musholla yang ada di kampus saya. Kebetulan baru selesai
menunaikan ibadah solat sekaligus beristirahat sebentar. Tak lama kemudian,
datang beberapa orang teman saya sambil membawa selebaran yang katanya dari
salah satu instansi di Republik ini. Ia meletakkan selebaran itu begitu saja di
hadapan saya. Sekilas, selebaran itu menyinggung mengenai terorisme.
Cukup menarik
ketika membaca selebaran itu. Disana dijelaskan bagaimana teroris benar-benar
dikecam dan tidak ada satupun agama yang membenarkannya sehingga harus dijauhi.
Juga ada ajakan-ajakan untuk memerangi terorisme. Memang, tak ada yang aneh
dari pernyataan itu semua. Akan tetapi saya sedikit “njelimet” ketika membaca
bagian solusi permasalahan. Disini saya memang bukanlah orang yang sangat ahli
dalam hal ini. Akan tetapi saya coba untuk membahas sedikit lebih dalam antara
agama dan terorisme.
Bukan saya
bermaksud untuk menjadikan agama sebagai sebuah penyebab utama dari tindak
terorisme, namun hal ini perlu dijelaskan dan dipahami lebih lanjut. Sebab,
jika salah dalam memahami penyebab permasalahan, maka kemungkinan juga akan
salah dalam merumuskan kebijakan untuk menanggulanginya. Kesalahan dalam
membuat solusi, jelas tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan, malah bisa
memunculkan masalah-masalah baru.
“Tak ada satupun
agama di dunia ini yang menghalalkan umatnya untuk menebar ancaman, teror dan
sebagainya”. Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Tapi apakah kita pernah
terfikirkan mengapa seorang teroris rela meninggalkan anak dan isteri hingga
keluarganya, menjauhi kehidupannya yang bisa saja sudah berkecukupan,
mengorbankan harta benda bahkan nyawanya sekalipun hanya untuk menunaikan
“tugasnya”? Bagi orang yang normal dan berifkir rasional, hal ini jelas sangat
tidak masuk akal.
Ketidakmasukan
akal tersebut sebenarnya disebabkan karena hadirnya “agama” dalam hati
seseorang. Barangkali kita sudah mengetahui bahwa para teroris sering
beranggapa bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang benar, jihad dan
mereka beserta keluarganya akan diganjar masuk surga. Keyakinan tersebut jelas
berasal dari keyakinan atau agama yang mereka yakini. Disini kemudian saya
ingin menggaris bawahi bahwa teroris harus kita akui memang berkaitan erat
dengan agama itu sendiri.
Namun kita
jangan gegabah terlebih dahulu. Saya kemudian ingin menegaskan lagi bahwa agama
yang dimaksud disini bukanlah “agama” pada umumnya. Keyakinan yang ada pada
diri seorang teroris sebenarnya berasal dari sebuah agama yang benar namun kemudian
mereka salah dalam menafsirkan dan memahaminya. Tidak mengherankan jika mereka
mau melakukan aksi-aksi kejahatan biadab tersebut. Mereka seolah tidak merasa
bersalah sedikitpun. Bagi mereka, kematian saat “berjuang” sangat mereka
idam-idamakan sebab ada “kenikmatan abadi” yang sedang menanti.
Sekarang sudah
jelas, bahwa terorisme tercipta dari pemahaman agama yang salah. Jika
penyebabnya adalah pemahaman agama yang salah, maka cara menanggulanginya juga
tidak boleh jauh dari urusan-urusan agama. Salah satunya adalah dengan cara
memberikan penjelasan atau pemahaman agama yang benar. Tidak perlu kita membuat
kebijakan yang macam-macam dan terlalu ribet bahkan cenderung mengundang
perdebatan.
Selama ini,
pemahaman masyarakat terhadap agama masih tergolong minim. Bisa kita lihat dari
dunia pendidikan (sekolah umum) dimana pelajaran agama hanya diletakkan sebagai
pelajaran pelengkap saja, bukan sebagai ajaran utama. Begitupun di bangku
perkuliahan yang mana mata kuliah agama hanya ada pasa semester awal, Itupun
sebagian hanya dua SKS. Meski hal ini saya rasa tidak berlaku di
sekolah-sekolah atau kampus-kampus berbasis agama.
Dunia pendidikan
yang tidak condong pada basis keagamaan kemudian membuat sebagian orang yang
haus akan ilmu agama akhirnya mencari ilmu agama tersebut di luar dari sekolah.
Disinilah kerentanan itu muncul. Kita tak tahu apakah ilmu agama yang
disampaikan itu benar atau melenceng. Kalau itu ilmu agama yang benar, maka ini
kabar baik. Namun bisa dibayangkan bagaimana dengan sebaliknya.
Sekolah
sebenarnya tak hanya menjadi investasi bangsa Indonesia untuk mendapatkan
generasi yang cerdas, kompetitif dan berorientasi kerja. Akan tetapi juga
menjadi tempat mencetak orang-orang yang berkarakter dan berintegritas. Semua
itu dapat dicapai jika pembelajaran agama tidak dianaktirikan. Jauhnya agama
dari dunia pendidikan tak hanya memunculkan benih-benih teroris tetapi juga
kejahatan lainnya seperti pencurian, pembunuhan, korupsi dan lain-lain. Apa
yang bangsa ini harapkan jika mendapatkan generasi yang cemerlang di otak tapi
buruk di hati?.
Dari semua
pernyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cara ampuh untuk
menanggulangi terorisme adalah dengan memperkuat pemahaman agama kepada
masyarakat. Hal itu dapat dilakukan salah satunya dengan menjadikan agama
khususnya Islam –karena agama mayoritas dan mengatur semua hal mulai dari
bangun tidur sampai bangun negara- sebagai fokus utama dalam dunia pendidikan.
Jangan sampai agama malah dijauhkan dari pendidikan dan ketika ada aksi
terorisme, justru agamalah yang disalahkan dan dibenci. Wallahu a’lam
bisshawab.
Mantap banar penjelasan 😎☺ terus berkarya
BalasHapus